Sunday, April 13, 2014

Indonesia, Ukraina, dan Shevcenko


Orang-orang tak dikenal menyerang wartawan, mengacungkan senjata, dan merebut kamera. Saluran televisi lokal diblokir dan salurannya berganti siaran. Manajer hotel tempat wartawan menginap pun meminta penghentian siaran.

Hal itulah yang terjadi beberapa waktu lalu di Crimea, Ukraina. Wilayah ini berada di semenanjung Laut Hitam dan menjadi jantung konflik antara Moskwa di Rusia, Kiev di Ukraina, dan negara-negara ‘barat’ pengintai lainnya.


Gelagat perang semakin berbau. Cerita tentang penganiayaan dan tekanan lokal menjadi berita utama. Para utusan internasional, dari PBB hingga pengamat militer eropa, diancam orang-orang bersenjata dan diusir dari Ukraina. Sementara para warga Ukraina, diteror untuk memilih oleh atasannya, “anda mendukung Ukraina atau Rusia?”. Begitulah hasil liputan CNN yang ikut kena bara dari konflik tersebut.

Sejarahnya dulu, Crimea masuk ke dalam wilayah teritorial Rusia. Namun mantan pimpinan Soviet, Nikita Khrushchev memberikan Crimea ke Ukraina pada 1954. Akan tetapi etnis Rusia mendominasi hingga lebih dari 59 persen dari dua juta penduduk Crimea (Sensus 2001).

Langkah pemerintah Ukraina di akhir 2013 lalu untuk menguatkan hubungan ekonomi dengan Rusia dan menjauhi Uni Eropa, sekarang berbuntut panjang dan berkorban banyak sumber daya. Sampai akhirnya bersarang di Crimea. Dengan alasan kondisi krisis di Ukraina, Putin menyatakan bahwa Rusia berhak menggelar pasukan di Ukraina demi melindungi warga negaranya yang banyak di Crimea.

Referendum pun dilakukan, hasilnya mayoritas warga Crimea memilih ikut Rusia. Hal ini semakin memancing pro kontra dimana-mana dan memperkeruh konflik. Aksi agresif Rusia ini memicu kekhawatiran Uni Eropa dan US, yang seakan mulai memperebutkan Ukraina.

Beberapa hari yang lalu pun, Ukraina menarik mundur pasukannya dari Crimea. Hal ini seakan menjadi isyarat menyerah dari Ukraina yang memang secara kekuatan militer, kalah jauh dibanding Rusia.

Apa yang terjad di atas, kembali mengingatkan kita pada salah satu teori geopolitik yang digadang lebih dari seabad yang lalu. Teori ini bernama The Heartland Theory, yang dikemukakan oleh seorang pakar geopolitik Inggris bernama Sir Halford Mackinder (1861-1947). Ia berujar, Barang siapa menguasai Eropa Timur dia akan memegang kendali Heartland, barang siapa menguasai Heartland dia akan menguasai World Island, dan barang siapa menguasai World Island dia akan menguasai dunia”.

Mackinder menganggap bahwa Heartland adalah Rusia/Eropa Timur dan World Islandnya adalah Eurasia. Kedua anggapan ini didasarkan pada ketersediaan minyak bumi dan sumber daya alam lain yang melimpah baik di timur tengah maupun di Rusia. Hal inilah mungkin yang menjadi salah satu pijakan Putin untuk akhirnya tidak berkompromi dengan suara AS dan Uni Eropa.

Beberapa waktu yang lalu, negosiasi di Paris antara Menteri Luar Negeri (Menlu) AS, John Kerry dan Menlu Rusia, Sergei Lavrov, berakhir tanpa kesepakatan. Eropa dan AS berharap Moskow membuka dialog dengan pemerintah baru di Kiev dan juga menarik pasukannya di Crimea ke pangkalan mereka, serta mengizinkan pemantau internasional. Namun yang terjadi justru sebaliknya, Rusia semakin kuat di Crimea dan AS bersama Eropa menghukum Rusia dengan mengeluarkannya dari G-8.

Lalu, apa tanggapan Indonesia sebagai salah satu negara Non-Blok dan pendukung perdamaian internasional seperti yang tertulis di konsititusinya?.

Sampai detik ini, SBY hanya menghimbau KBRI di Ukraina untuk menyelamatkan para WNI disana. Marty Natalegawa (Menlu RI) menyatakan sikap Indonesia terhadap krisis ini adalah “kita menjunjung tinggi kedaulatan negara dan mendukung penyelesaian secara damai oleh dewan keamanan PBB”. Ini semacam respon normatif yang tak begitu berdampak.

Indonesia tak memberikan respon tegas terhadap konflik yang semakin memancing perang dingin itu. Padahal banyak sekali media dan peluang bagi Indonesia untuk mampu bersuara dan membantu resolusi konflik tersebut. Indonesia bisa menggunakan akses G20 dan APEC untuk mendinginkan emosi Putin dan Obama. Juga melalui ASEAN dan Non-Blok, Indonesia mestinya bisa mengajak negara-negara anggotanya bersikap atas konflik tersebut.

Kenyataannya, tak satupun dari akses tersebut yang digunakan Indonesia, SBY diduga sibuk mengurusi politik dalam negerinya. Padahal apa yang terjadi di Ukraina menurut Derek Manangka, sesungguhnya memiliki kesamaan dengan beberapa gerakan separatis yang ada di Indonesia, seperti di Aceh dan Papua. Crimea adalah salah satu provinsi terujung di Ukraina.

Apakah Indonesia bebas aktif tidak berlaku untuk kasus ini ?. Ukraina saat ini ada diantara US bersama Uni Eropa dan Rusia, dan lalu Indonesia dimana?. Indonesia bebas, tidak memihak salah satunya?. Diamnya Indonesia bukan berarti menunjukkan ketidak-berpihakan ke salah satunya, bisa juga berarti pada keberpihakan pada salah satunya secara diam. Indonesia Aktif?, jelas sama sekali tidak untuk kasus ini.
Respon pemerintah Indonesia yang nihil atas konflik Ukraina, sepertinya hampir berbanding lurus dengan respon masyarakatnya. Tak banyak masyarakat Indonesia yang tahu apalagi peduli dengan konflik tersebut.

Perihal masyarakat Indonesia, konon ada pendapat menyatakan “masyarakat Indonesia karena mayortitas muslimnya sehingga cuma peduli dengan konflik internasional yang berhubungan dengan Islam. Itukah Islam?, dimana rahmatan lil alalmin, peran Islam yang mestinya jadi rahmat bagi seluruh alam?.

Mungkin tak banyak warga Indonesia yang kenal dengan negara kecil pecahan Uni Soviet ini. Mereka cuma kenal Andriy Shevcenko, salah satu pemain sepakbola terbaik dunia asal Ukraina yang pernah bermain bersama AC Milan.

Itulah karena wawasan yang kurang luas, kepedulian yang ekslusif, dan pemahaman yang terbatas. Mari tingkatkan kesadaran untuk membenahi hal tersebut.


Grup Diskusi Liberal Arts, Forum Indonesia Muda

No comments:

Post a Comment