Orang-orang tak dikenal menyerang wartawan, mengacungkan
senjata, dan merebut kamera. Saluran televisi lokal diblokir dan salurannya
berganti siaran. Manajer hotel tempat wartawan menginap pun meminta penghentian
siaran.
Hal itulah yang terjadi beberapa waktu lalu di Crimea,
Ukraina. Wilayah ini berada di semenanjung Laut Hitam dan menjadi jantung
konflik antara Moskwa di Rusia, Kiev di Ukraina, dan negara-negara ‘barat’
pengintai lainnya.
Gelagat perang semakin berbau. Cerita tentang penganiayaan
dan tekanan lokal menjadi berita utama. Para utusan internasional, dari PBB
hingga pengamat militer eropa, diancam orang-orang bersenjata dan diusir dari
Ukraina. Sementara para warga Ukraina, diteror untuk memilih oleh atasannya,
“anda mendukung Ukraina atau Rusia?”. Begitulah hasil liputan CNN yang ikut
kena bara dari konflik tersebut.
Sejarahnya dulu, Crimea masuk ke dalam wilayah teritorial
Rusia. Namun mantan pimpinan Soviet, Nikita Khrushchev memberikan Crimea ke
Ukraina pada 1954. Akan tetapi etnis Rusia mendominasi hingga lebih dari 59
persen dari dua juta penduduk Crimea (Sensus 2001).
Langkah pemerintah Ukraina di akhir 2013 lalu untuk
menguatkan hubungan ekonomi dengan Rusia dan menjauhi Uni Eropa, sekarang
berbuntut panjang dan berkorban banyak sumber daya. Sampai akhirnya bersarang
di Crimea. Dengan alasan kondisi krisis di Ukraina, Putin menyatakan bahwa
Rusia berhak menggelar pasukan di Ukraina demi melindungi warga negaranya yang
banyak di Crimea.
Referendum pun dilakukan, hasilnya mayoritas warga Crimea
memilih ikut Rusia. Hal ini semakin memancing pro kontra dimana-mana dan
memperkeruh konflik. Aksi agresif Rusia ini memicu kekhawatiran Uni Eropa dan
US, yang seakan mulai memperebutkan Ukraina.
Beberapa hari yang lalu pun, Ukraina menarik mundur
pasukannya dari Crimea. Hal ini seakan menjadi isyarat menyerah dari Ukraina
yang memang secara kekuatan militer, kalah jauh dibanding Rusia.
Apa yang terjad di
atas, kembali mengingatkan kita pada salah satu teori geopolitik yang digadang
lebih dari seabad yang lalu. Teori ini bernama The Heartland Theory, yang dikemukakan oleh seorang pakar geopolitik Inggris bernama Sir Halford
Mackinder (1861-1947). Ia
berujar, ” Barang
siapa menguasai Eropa Timur dia akan memegang kendali Heartland, barang siapa
menguasai Heartland dia akan menguasai World Island, dan barang siapa menguasai
World Island dia akan menguasai dunia”.
Mackinder
menganggap bahwa Heartland adalah Rusia/Eropa Timur dan World Islandnya adalah
Eurasia. Kedua anggapan ini didasarkan pada ketersediaan minyak bumi dan
sumber daya alam lain yang
melimpah baik di timur tengah maupun di Rusia. Hal inilah mungkin yang
menjadi salah satu pijakan Putin untuk akhirnya tidak berkompromi dengan suara
AS dan Uni Eropa.
Beberapa waktu yang lalu, negosiasi di Paris antara Menteri
Luar Negeri (Menlu) AS, John Kerry dan Menlu Rusia, Sergei Lavrov, berakhir
tanpa kesepakatan. Eropa dan AS berharap Moskow membuka dialog dengan
pemerintah baru di Kiev dan juga menarik pasukannya di Crimea ke pangkalan
mereka, serta mengizinkan pemantau internasional. Namun yang terjadi justru
sebaliknya, Rusia semakin kuat di Crimea dan AS bersama Eropa menghukum Rusia
dengan mengeluarkannya dari G-8.
Lalu, apa tanggapan Indonesia sebagai salah satu negara Non-Blok
dan pendukung perdamaian internasional seperti yang tertulis di konsititusinya?.
Sampai detik ini, SBY hanya menghimbau KBRI di Ukraina untuk
menyelamatkan para WNI disana. Marty Natalegawa (Menlu RI) menyatakan sikap
Indonesia terhadap krisis ini adalah “kita menjunjung tinggi kedaulatan negara
dan mendukung penyelesaian secara damai oleh dewan keamanan PBB”. Ini semacam
respon normatif yang tak begitu berdampak.
Indonesia tak memberikan respon tegas terhadap konflik yang
semakin memancing perang dingin itu. Padahal banyak sekali media dan peluang
bagi Indonesia untuk mampu bersuara dan membantu resolusi konflik tersebut.
Indonesia bisa menggunakan akses G20 dan APEC untuk mendinginkan emosi Putin
dan Obama. Juga melalui ASEAN dan Non-Blok, Indonesia mestinya bisa mengajak
negara-negara anggotanya bersikap atas konflik tersebut.
Kenyataannya, tak satupun dari akses tersebut yang digunakan
Indonesia, SBY diduga sibuk mengurusi politik dalam negerinya. Padahal apa yang
terjadi di Ukraina menurut Derek Manangka, sesungguhnya memiliki kesamaan
dengan beberapa gerakan separatis yang ada di Indonesia, seperti di Aceh dan
Papua. Crimea adalah salah satu provinsi terujung di Ukraina.
Apakah Indonesia bebas aktif tidak berlaku untuk kasus ini
?. Ukraina saat ini ada diantara US bersama Uni Eropa dan Rusia, dan lalu Indonesia
dimana?. Indonesia bebas, tidak memihak salah satunya?. Diamnya Indonesia bukan
berarti menunjukkan ketidak-berpihakan ke salah satunya, bisa juga berarti pada
keberpihakan pada salah satunya secara diam. Indonesia Aktif?, jelas sama
sekali tidak untuk kasus ini.
Respon pemerintah Indonesia yang nihil atas konflik Ukraina,
sepertinya hampir berbanding lurus dengan respon masyarakatnya. Tak banyak
masyarakat Indonesia yang tahu apalagi peduli dengan konflik tersebut.
Perihal masyarakat Indonesia, konon ada pendapat menyatakan
“masyarakat Indonesia karena mayortitas muslimnya sehingga cuma peduli dengan
konflik internasional yang berhubungan dengan Islam. Itukah Islam?, dimana rahmatan lil alalmin, peran Islam yang
mestinya jadi rahmat bagi seluruh alam?.
Mungkin tak banyak warga Indonesia yang kenal dengan negara
kecil pecahan Uni Soviet ini. Mereka cuma kenal Andriy Shevcenko, salah satu
pemain sepakbola terbaik dunia asal Ukraina yang pernah bermain bersama AC
Milan.
Itulah karena wawasan yang kurang luas, kepedulian yang
ekslusif, dan pemahaman yang terbatas. Mari tingkatkan kesadaran untuk
membenahi hal tersebut.
Grup Diskusi Liberal
Arts, Forum Indonesia Muda
No comments:
Post a Comment