“Mengapa harus
selamatkan orangutan?. Sementara masih banyak orang beneran yang lebih butuh untuk
diselamatkan”
Sejumlah pertanyaan atau pernyataan sekitar lingkup di atas
kembali bertebaran akhir-akhir ini, usai berita tentang Pelepasliaran Orangutan
oleh BOSF (Borneo Orangutan Survival Foundation / Yayasan Penyelamatan
Orangutan Borneo) beberapa waktu yang lalu. Hal ini memang hampir selalu
terjadi bagi sebagian orang yang belum cukup paham, di setiap program
pelepasliaran yang dilakukan.
Jadi, kenapa harus diselamatkan?.
Orangutan adalah ‘satwa penyebar biji’ yang efektif di alam
dan penghuni serta ‘pemelihara hutan’. Hutan kalau tak ada penghuni tentu
kelangsungan hidupnya akan terbatas karena tak ada yang membantu dalam regenerasi hutan. Orangutan membuang biji-biji
buah yang mereka makan melalui kotorannya. Ketika orangutan menjelajah, mereka
membuka kanopi hutan sehingga sinar matahari bisa masuk dan membuat biji-bijian
tersebut tumbuh subur, itulah yang kemudian membuat hutan terus bertumbuh.
Wahyono (2008) menulis, fakta di lapangan yang telah
dilakukan oleh Prof. Galdikas tentang penyebaran biji oleh orangutan
menunjukkan bahwa kera merah ini menyebarkan lebih dari 35 jenis tumbuhan yang
mempunyai nilai ekonomi penting bagi kehidupan umat manusia. Misalnya, berbagai
jenis buah yang belum dibudidayakan, jelutung sumber karet alam sebagai bahan
dasar permen karet dan berbagai jenis meranti.
Makhluk hidup yang satu tergantung dengan mahluk hidup yang
lain. Bila salah satu musnah maka akan terjadi ketidakseimbangan dalam
kehidupan sehari-hari. Misalnya, musnahnya burung dodo di Kepulauan Mauritus.
Dampaknya bagi kehidupan terlihat 100 tahun kemudian, yaitu dengan hilangnya
tumbuhan Calvalia major, dimana pertumbuhannya memerlukan bantuan pencernaan
burung tersebut.
Orangutan juga mempunyai peranan seperti di atas. Tumbuhan
yang dimakan langsung ataupun tidak dibantu oleh orangutan dalam penyebarannya.
Ada sebuah percobaan penanaman biji duku hutan yang jatuh langsung dan biji
yang berada pada kotoran orangutan. Terbukti bahwa biji yang keluar bersama
kotoran orangutan, pertumbuhan kecambahnya lebih cepat daripada yang diambil
langsung dari pohon.
Contoh kecil ini dapatlah menjadi sebuah illustrasi, bahwa
suatu tumbuhan memerlukan sebuah media untuk tumbuh. Benalu akan cepat tumbuh
bila melalui pencernaan burung Prenjak dan sulit untuk tumbuh bila ditanam
langsung dari biji yang diambil dari pohon tersebut. Masih banyak contoh
kejadian alam semacam itu, satu sama lain saling menggantungkan untuk
pertumbuhan.
Hutan yang lestari dan terus bertumbuh, inilah yang dibutuhkan
manusia, kita. Hutan yang menyediakan sumber penghidupan yang bermanfaat dan
udara yang bersih. Ini juga yang akan melindungi kita dari ancaman bencana
banjir, tanah longsor, dan kekeringan. Hutan yang lestari melindungi tanah dari
bahaya erosi yang menghilangkan lapisan tanah yang subur.
Singkatnya, menyelamatkan orangutan ialah demi kelestarian
hutan ; dan hutan demi kelestarian manusia atau orang beneran.
Dan apa kabar kondisi sang pemelihara hutan tersebut dan
penyelamatannya hari ini ?
Orangutan, satu-satunya great
ape yang ada di Asia ini, hanya tersisa 55.000 individu di Sumatera dan
Borneo (BOSF, 2009). Jumlah ini sudah dikategorikan sudah ‘sangat terancam
punah’ untuk Sumatera dan ‘langka’ untuk Borneo. Sejumlah penyebabnya adalah ; tekanan
populasi penduduk yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan, pembakaran
hutan, pertambangan, deforestasi, dan perburuan. Semua ini semakin menjadi-jadi
juga dikarenakan lemahnya penegakan hukum terkait hal ini. Sementara Hutan Sumatera
dan Borneo termasuk ke dalam bagian besar dari paru-paru dunia.
Sebenarnya sejak 1991, Tropenbos, NGO konservasi
internasional, sudah mendirikan Proyek Konservasi Orangutan di Balikpapan dalam
koordinasi dengan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Kementerian Kehutanan. 1994, lalu terbentuklah Perhimpunan Pecinta Orangutan
Balikpapan (The Balikpapan Orangutan Society). 1998, komunitas tersebut
kemudian berubah menjadi: Yayasan Penyelamatan Orangutan Balikpapan (The
Balikpapan Orangutan Survival Foundation).
1999, akhirnya Yayasan Penyelamatan Orangutan Balikpapan diresmikan
dan menandatangani MoU dengan Dirjen PHKA, Departemen Kehutanan Republik
Indonesia. Sementara itu, hal yang sama juga terjadi di Nyaru Menteng, Palangka
Raya, berkat bantuan Lone Droscher-Nielsen, aktifis konservasi asal Denmark. 2003,
barulah kemudian nama BOSF digunakan. Setelah lebih dari sepuluh tahun beroperasi,
barulah sejak awal tahun 2012, BOSF mulai melepasliarkan lebih dari 200
individu orangutan hingga sekarang. Saat ini BOSF merehabilitasi sekitar 750
individu orangutan yang diperoleh dari sejumlah sumber ; dari kebakaran hutan,
peliharaan manusia, hingga tangkapan penyelundupan.
Orangutan pun mulai semakin memiliki masa depan lebih baik.
Namun perjalanan ini tetap tak mulus. Tetap ada beberapa pihak oknum berseragam
‘kepentingan’. Oknum pemerintah yang mestinya punya tanggung jawab utama dalam
konservasi, malah berbuat ulah yang mengganggu proses rehabilitasi orangutan.
Juga tentang pendanaan, rupiah yang dikeluarkan oleh
pemerintah untuk hal ini relatif kecil dibanding donasi dari berbagai penjuru
dunia yang terkumpul. BOSF memiliki partner di sejumlah Negara-negara Eropa,
Asia, dan Australia untuk penggalangan dana.
Tentu, pemerintah mempunyai skala prioritas dalam penyusunan
anggaran. Konservasi masih berada di peringkat bawah dalam prioritas itu. Tapi
setidaknya dengan sudah didukung NGO, mestinya ikut pemerintah mendukung
sepenuhnya hal ini, bukan setengah-setengah, apalagi acuh dan sampai malah
menghambat. Adalah konflik kepentingan dengan Dinas Pariwisata salah satunya
yang terjadi hari ini.
Dinas pariwisata menginginkan area yang menjadi tempat
rehabilitasi orangutan sebagai objek wisata, sementara hal ini sangat
bertentangan dengan objektif rehabilitasi yang bertujuan mengurangi seoptimal
mungkin interaksi orangutan dengan manusia, agar mereka siap untuk
dilepasliarkan. Terlihat disini ada miskoordinasi antar elemen dalam
pemerintahan. Hal-hal semacam inilah yang masih menjadi kerikil dalam
penyelamatan sang pemelihara hutan.
Jika orang beneran-nya
malah terus menebar kerikil, maka orangutan-lah memang yang pantas
diselamatkan.
Tulisan ini dirilis di Okezone.com 18 Februari 2014 dan Kalteng Pos 20 Februari 2014
No comments:
Post a Comment