Wednesday, November 13, 2013

(Muse)um


“Lest we forget..”

Jangan sampai kita lupakan, ajakan di atas bertebaran di negeri mapple yang lapang karena masuk dalam sepuluh besar negara berkepadatan penduduk terendah di dunia menurut salah satu survey. Kanada, tertanggal 11 November, ia merayakan Remembrance Day. Perayaan yang hampir sama dengan satu hari sebelumnya di Indonesia, 10 November; Hari Pahlawan.

Kedua hari di atas sama-sama dirayakan di kedua negara. Mari kita coba komparasikan selebrasi antar negeri yang berjarak sekitar dua puluh lima jam penerbangan ini. Di Indonesia, sebagian perayaan dilaksanakan tepat di hari H dan dibalut formalitas, seperti upacara, ziarah, perenungan, dan lain lain. Di Kanada, perayaan dimulai dari beberapa minggu sebelum hari H dan memberi sebuah durasi untuk mereka memaknai momentum tersebut.

Poppies, salah satu jenis bunga yang berkaitan erat dengan sejarah veteran di Kanada. Selama sekitar sebulan sebelum hari H, di sejumlah tempat umum di negeri tersebut disebarkan imitasi poppies kepada siapapun. Ini sebagai perlambang empati mengenang jasa para veteran mereka. Di sebagian tempat, poppies ini dibagikan langsung oleh para veterannya sendiri atau keturunannya.

Selain itu, perayaan juga banyak dilakukan di museum-museum. Mereka membuat berbagai program yang membuat museum semakin ramai dikunjungi dalam bulan Remembrance Day. Kenapa museum ?.

Museum mengandung berbagai nilai sejarah yang berkaitan dengan pemahaman tentang kepahlawanan secara luas. Hubungan antar masa ke masa, transisi peradaban, dan artefak serta segala yang diletakkan di museum ; itu tidak sekedar disimpan. Semua itu dijaga disana, untuk memelihara ‘nilai’-nya ; kualitas kontribusi yang diberikannya dalam membentuk masa setelahnya.

Pahlawan berasal dari bahasa sanskerta, ‘phala-wan’ yang berarti orang yang dari dirinya menghasilkan buah (phala) yang berkualitas bagi peradabannya. Dalam arti luas, bisa juga dimaknai sebagai segala sesuatu yang memberikan nilai positif bagi lingkungan di sekitarnya ; nilai ini ditahan di museum.

Ditahan untuk diserap oleh para pengunjungnya. Diamnya penghuni museum sesungguhnya memekikkan teriakan ‘nilai’ yang ingin didengar oleh para generasi berikutnya. Bukan sekedar untuk dinikmati keunikan fisiknya, apalagi ditertawakan keterbelakangan masa-nya.

Kata “Museum” berasal dari bahasa Yunani Kuno, “Mouseion” yang artinya, “Kuil atau rumah ibadah tempat menyembah sembilan Dewi Muze, Dewa Utama dalam Pantheon Yunani Klasik”. Kuil atau tempat ibadah pemujaan inilah yang disebut “Muzeum”. Dengan demikian kata Museum pada awalnya berasal dari kata “Muze”, kemudian dalam bahasa Yunani menjadi “Mouseion” lalu ditransfer ke dalam bahasa latin dan Inggris menjadi kata “Museum”.

Muse, dalam bahasa Inggris berarti ‘merenungkan’. Maka museum bisa berarti tempat merenungkan sejarah. Belajar, lebih dari sekedar menerima, namun juga berpikir ; merenung tentang ‘nilai’-nya.

Kembali ke Indonesia, apakah museum cukup serius digalakkan, terutama di Hari Kemerdekaan dan Hari Pahlawan? Kondisinya hari ini sebenarnya terus membaik. Beberapa museum sudah mulai merawat dengan baik dan menggalakkan berbagai program di peringatan hari pahlawan. Sejumlah institusi, terutama sekolah-sekolah juga mulai giat memarakkan kunjungan ke museum. Hanya saja ini masih cukup jauh dari target yang ingin dicapai untuk merenungkan nilai sejarah kepahlawanan.

Museum yang melakukan hal di atas hanya sebagian kecil dibanding total jumlah museum di Indonesia. Tahun 2015, salah satu survey mencatat jumlah museum di Indonesia ada 365 museum dan sebagian besarnya kurang interaktif ; membosankan, menurut pemerhati museum dari Universitas Gadjah Mada, Sektiadi. 56 dari museum tersebut bahkan terpusat di Jakarta.

Kemudian, sejumlah museum tersebut juga kurang kaya dalam hal metode yang mampu menarik pengunjung dan mampu menyerap nilainya. Hal ini disebabkan oleh kurangnya inovasi dari pihak museum dan juga grup pengunjung terhadap usaha mencapai ke-arah tersebut.

Salah satu museum di Kanada, memiliki ragam metode dalam transfer nilai sejarah yang terkandung dalam museum mereka. Adalah Mik’maq Museum, yang berisikan sejarah tentang first nation di maritim Kanada. Mereka membuat ragam permainan dan atraksi yang disesuaikan dengan kebutuhan dan tipe pengunjung. Selain itu mereka juga menghadirkan berbagai workshop sebagai tingkatan lanjut bagi para pengunjung yang ingin belajar lebih tentang kebudayaan mereka.

Hill Strategies Research (2003) mendata bahwa 32,3 % penduduk Kanada sudah mengunjungi museum dan pada 2013 Museum Fine Arts di Montreal bahkan berhasil menarik 1,015,022 pengunjung. Sementara di Indonesia, jumlah pengunjung museumnya dalam setahun hampir sama dengan jumlah pengunjung satu Museum Louvre di Paris, Prancis, dalam kurun yang sama, yakni sepuluh juta orang, ini berarti hanya sekitar 4 % dari total penduduk Indonesia. Angka tersebut pun kotor, karena tercampur juga dengan kunjungan oleh turis asing. Angka itu juga mengalami penurunan semenjak Tahun 2006.

Tahun 2012, konon semenjak Kemendikbud membuat program Duta Museum di seluruh provinsi, angka kunjungan kembali meningkat. Namun tidak lebih besar dibanding pada Tahun 2006. Memang kurang sepadan membandingkan Indonesia dengan Kanada, namun ini bukan tentang ke-sepadan-an, tapi tentang studi komparatif yang sebaiknya dilakukan terhadap negara yang lebih maju ; guna memicu target yang lebih ‘optimis’.

Banyak generasi peradaban yang maju karena pendidikannya dekat dengan museum, belajar sejarah, menghargai masa lalu, menghormati masa sekarang, dan menyusun masa depan.

Hari-hari pahlawan, makamnya, agaknya tidak cukup memberi getar pada masyarakat kekinian tentang daya juang dan jasanya dahulu, malah jadi bahan tertawaan, karena digodok dengan komedi horor dari kesan makamnya.

Hari ini, banyak orang yang tidak memiliki pahlawan favoritnya, tokoh hero fiktif di film-film hadir lebih menarik bagi sebagian mereka. Maka tak ada salahnya kita mencoba untuk membuat museum pahlawan, sebagai muse-um ; tempat merenungkan tokoh pahlawan favorit masing-masing.

Take up our quarrel with the foe
To you from failing hands we throw
The torch; be yours to hold it high.
If ye break faith with us who die
We shall not sleep. –John McCrae – Flanders Fields

Tulisan ini dipublikasikan di Youth Proactive

No comments:

Post a Comment