“Lest we
forget..”
Jangan
sampai kita lupakan, ajakan di atas bertebaran di negeri mapple yang lapang
karena masuk dalam sepuluh besar negara berkepadatan penduduk terendah di dunia
menurut salah satu survey. Kanada, tertanggal 11 November, ia merayakan Remembrance
Day. Perayaan yang hampir sama dengan satu hari sebelumnya di Indonesia, 10
November; Hari Pahlawan.
Kedua
hari di atas sama-sama dirayakan di kedua negara. Mari kita coba komparasikan
selebrasi antar negeri yang berjarak sekitar dua puluh lima jam penerbangan ini.
Di Indonesia, sebagian perayaan dilaksanakan tepat di hari H dan dibalut
formalitas, seperti upacara, ziarah, perenungan, dan lain lain. Di Kanada,
perayaan dimulai dari beberapa minggu sebelum hari H dan memberi sebuah durasi
untuk mereka memaknai momentum tersebut.
Poppies, salah satu jenis bunga yang berkaitan erat dengan sejarah veteran di Kanada. Selama sekitar sebulan sebelum hari H, di sejumlah tempat umum di negeri tersebut disebarkan imitasi poppies kepada siapapun. Ini sebagai perlambang empati mengenang jasa para veteran mereka. Di sebagian tempat, poppies ini dibagikan langsung oleh para veterannya sendiri atau keturunannya.
Selain
itu, perayaan juga banyak dilakukan di museum-museum. Mereka membuat berbagai
program yang membuat museum semakin ramai dikunjungi dalam bulan Remembrance
Day. Kenapa museum ?.
Museum
mengandung berbagai nilai sejarah yang berkaitan dengan pemahaman tentang
kepahlawanan secara luas. Hubungan antar masa ke masa, transisi peradaban, dan
artefak serta segala yang diletakkan di museum ; itu tidak sekedar disimpan.
Semua itu dijaga disana, untuk memelihara ‘nilai’-nya ; kualitas kontribusi
yang diberikannya dalam membentuk masa setelahnya.
Pahlawan
berasal dari bahasa sanskerta, ‘phala-wan’ yang berarti orang yang dari
dirinya menghasilkan buah (phala) yang berkualitas bagi peradabannya. Dalam
arti luas, bisa juga dimaknai sebagai segala sesuatu yang memberikan nilai
positif bagi lingkungan di sekitarnya ; nilai ini ditahan di museum.
Ditahan
untuk diserap oleh para pengunjungnya. Diamnya penghuni museum sesungguhnya
memekikkan teriakan ‘nilai’ yang ingin didengar oleh para generasi berikutnya.
Bukan sekedar untuk dinikmati keunikan fisiknya, apalagi ditertawakan
keterbelakangan masa-nya.
Kata
“Museum” berasal dari bahasa Yunani Kuno, “Mouseion” yang artinya, “Kuil atau
rumah ibadah tempat menyembah sembilan Dewi Muze, Dewa Utama dalam Pantheon
Yunani Klasik”. Kuil atau tempat ibadah pemujaan inilah yang disebut “Muzeum”.
Dengan demikian kata Museum pada awalnya berasal dari kata “Muze”, kemudian
dalam bahasa Yunani menjadi “Mouseion” lalu ditransfer ke dalam bahasa latin
dan Inggris menjadi kata “Museum”.
Muse,
dalam bahasa Inggris berarti ‘merenungkan’. Maka museum bisa berarti tempat
merenungkan sejarah. Belajar, lebih dari sekedar menerima, namun juga berpikir
; merenung tentang ‘nilai’-nya.
Kembali
ke Indonesia, apakah museum cukup serius digalakkan, terutama di Hari
Kemerdekaan dan Hari Pahlawan? Kondisinya hari ini sebenarnya terus membaik.
Beberapa museum sudah mulai merawat dengan baik dan menggalakkan berbagai
program di peringatan hari pahlawan. Sejumlah institusi, terutama
sekolah-sekolah juga mulai giat memarakkan kunjungan ke museum. Hanya saja ini
masih cukup jauh dari target yang ingin dicapai untuk merenungkan nilai sejarah
kepahlawanan.
Museum
yang melakukan hal di atas hanya sebagian kecil dibanding total jumlah museum
di Indonesia. Tahun 2015, salah satu survey mencatat jumlah museum di Indonesia
ada 365 museum dan sebagian besarnya kurang interaktif ; membosankan, menurut
pemerhati museum dari Universitas Gadjah Mada, Sektiadi. 56 dari museum
tersebut bahkan terpusat di Jakarta.
Kemudian,
sejumlah museum tersebut juga kurang kaya dalam hal metode yang mampu menarik
pengunjung dan mampu menyerap nilainya. Hal ini disebabkan oleh kurangnya
inovasi dari pihak museum dan juga grup pengunjung terhadap usaha mencapai
ke-arah tersebut.
Salah
satu museum di Kanada, memiliki ragam metode dalam transfer nilai sejarah yang
terkandung dalam museum mereka. Adalah Mik’maq Museum, yang berisikan sejarah
tentang first nation di maritim Kanada. Mereka membuat ragam permainan
dan atraksi yang disesuaikan dengan kebutuhan dan tipe pengunjung. Selain itu
mereka juga menghadirkan berbagai workshop sebagai tingkatan lanjut bagi para
pengunjung yang ingin belajar lebih tentang kebudayaan mereka.
Hill
Strategies Research (2003) mendata bahwa 32,3 % penduduk Kanada sudah
mengunjungi museum dan pada 2013 Museum Fine Arts di Montreal bahkan berhasil
menarik 1,015,022 pengunjung. Sementara di Indonesia, jumlah pengunjung
museumnya dalam setahun hampir sama dengan jumlah pengunjung satu Museum Louvre
di Paris, Prancis, dalam kurun yang sama, yakni sepuluh juta orang, ini berarti
hanya sekitar 4 % dari total penduduk Indonesia. Angka tersebut pun kotor,
karena tercampur juga dengan kunjungan oleh turis asing. Angka itu juga
mengalami penurunan semenjak Tahun 2006.
Tahun
2012, konon semenjak Kemendikbud membuat program Duta Museum di seluruh
provinsi, angka kunjungan kembali meningkat. Namun tidak lebih besar dibanding
pada Tahun 2006. Memang kurang sepadan membandingkan Indonesia dengan Kanada,
namun ini bukan tentang ke-sepadan-an, tapi tentang studi komparatif yang
sebaiknya dilakukan terhadap negara yang lebih maju ; guna memicu target yang
lebih ‘optimis’.
Banyak
generasi peradaban yang maju karena pendidikannya dekat dengan museum, belajar
sejarah, menghargai masa lalu, menghormati masa sekarang, dan menyusun masa
depan.
Hari-hari
pahlawan, makamnya, agaknya tidak cukup memberi getar pada masyarakat kekinian
tentang daya juang dan jasanya dahulu, malah jadi bahan tertawaan, karena
digodok dengan komedi horor dari kesan makamnya.
Hari ini,
banyak orang yang tidak memiliki pahlawan favoritnya, tokoh hero fiktif di
film-film hadir lebih menarik bagi sebagian mereka. Maka tak ada salahnya kita
mencoba untuk membuat museum pahlawan, sebagai muse-um ; tempat merenungkan
tokoh pahlawan favorit masing-masing.
Take up
our quarrel with the foe
To you
from failing hands we throw
The
torch; be yours to hold it high.
If ye
break faith with us who die
We shall
not sleep. –John
McCrae – Flanders Fields
Tulisan ini dipublikasikan di Youth Proactive
No comments:
Post a Comment