Hujan mengguyur kota Padang beberapa hari di minggu-minggu
terakhir ini, membasahi kertas-kertas dan kain-kain bergambar aneka wajah yang
minta dikenal. Bersama dengannya, slogan-slogan klise beserta nama-nama
bergelar yang terpampang didalamnya menciut dingin, basi dan hambar.
Sekitar delapan abad yang lalu, tidak jauh dari kota
tersebut berdiri Kerajaan Minangkabau yang menjadi akar peradaban Sumatera
Barat (Sumbar) saat ini. Ketika itu di dalamnya terjadi pertentangan antara dua
pemimpinnya. Ialah Datuak Katumangguangan dan Datuak Parpatiah nan Sabatang.
Perbedaan ide dasar antara mereka kemudian membawa perpecahan kerajaan ke dalam
dua sistem politik, yaitu Lareh Koto Piliang dan Bodi Caniago.
Sekitar tujuh abad kemudian, pertentangan antar Putra
Minangkabau kembali tercatat oleh sejarah, namun kali ini dalam skala yang
lebih luas. Adalah mereka menjadi tokoh republik. Syahrir, Hatta, Natsir, dan
Tan Malaka. Dalam Majalah Tempo Edisi Khusus Hari Kemerdekaan Tahun 2008 dimuat
artikel pertentangan Tan Malaka dengan Mohammad Hatta. Mereka berselisih paham
tentang bagaimana memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. Sama-sama
egois, Hatta sangat menentang komunisme. Ia menganjurkan koperasi dalam
menegakkan ekonomi Indonesia. Sebaliknya, Tan Malaka percaya jika digabung
antara Pan-Islamisme dan Komunisme, Indonesia bisa menjadi digdaya. Sementara
itu, Syahrir bertahan dalam paham sosialisnya dan Natsir bersama Masyumi-nya.
Hari-hari akhir ini, hujan bersama sejumlah petaka yang
menyertainya di Kota Padang seakan menjadi isyarat. Isyarat peringatan, antara
memperingati semakin derasnya laju pertentangan antar putra Minangkabau atau
memperingatkan mereka untuk meredam pertentangan.
Sepanjang tahun 2013 ini, ada empat pilkada yang
diselenggarakan oleh KPU Sumbar, yaitu di Kota Padang, Padang Panjang,
Sawahlunto, dan Pariaman. Keempat pilkada ini berlangsung ‘ramai’, paling
sedikit diikuti oleh lima pasang calon, yaitu di Padang Panjang dan Sawahlunto.
Kemudian di Pariaman diikuti tujuh pasang calon dan Padang ada sepuluh pasang
calon. Ini adalah pikada kedua yang terbanyak pesertanya setelah Kabupaten
Mimika di Papua yang mencapai sebelas pasang calon pada Agustus lalu.
Inilah era baru pertentangan antar Putra Minangkabau, atau
mungkin bisa juga disebut sebagai buah demokrasi Indonesia pasca reformasi (?).
Demokrasi memang memberikan ruang yang cukup luas bagi kemerdekaan beraspirasi,
hanya saja sayangnya mereka yang beraspirasi terlihat masih belum cukup paham
akan tujuan sang demokrasi memberi mereka kebebasan tersebut.
Sebuah petitih minangkabau menyebutkan, “Tatungkuik samo makan tanah, tatilantang samo minum ambun, tarapuang
samo hanyuik, tarandam samo basah”. Petitih ini sepertinya disalah-tafsirkan
oleh para calon kepala daerah di Sumbar, malah menjadi ; tabukak pilkada, samo sato manyalon. Padahal sesungguhnya petitih
ini menjelaskan tentang pentingnya kerja sama yang baik dalam masyarakat.
Anjuran untuk membentu satu kesatuan hati dan pikiran, kesatuan pendapat dan gerak
sebagai pokok utama membangun peradaban yang lebih baik.
Seharusnya petitih di atas dipahami dengan benar oleh para
putra minangkabau yang bertentangan di atas sehingga kemudian “Titiak buliah ditampuang, maleleh buliah
dibaliak”. Hasil kerja sama yang baik antar mereka nantinya akan dapat
dinikmati bersama oleh masyarakat yang akan mereka pimpin.
Terhadap kondisi klasik yang terus menerus terjadi dalam
dinamika kehidupan para putra minangkabau di atas, kemudian muncul sebuah
anekdot ; “Urang awak susah bakarajo
samo, pandainyo samo-samo karajo”. Tingkat ego individual dan keinginan
untuk tampil yang tinggi pada masing-masing mereka membuat mereka susah untuk
berdamai demi kepentingan yang lebih besar ; masyarakat. Akhirnya mereka lebih
memilih samo-samo karajo yang
muatannya lebih besar demi ambisi pribadi.
Memang perbedaan adalah rahmat, karena dari sekian perbedaan
tersebut kemudian mampu melahirkan kombinasi-kombinasi yang bisa jadi sinergis.
Namun beda yang mer-rahmat disini adalah dalam konteks substansi gagasan,
sintesis sebuah proses ber-pikir ; re-search.
Bukan untuk sebuah perbedaan akan hal-hal kepentingan politik transaksional
yang miskin ide dan dangkal landasan.
Berapa biaya yang dihabiskan untuk kampanye oleh sekian
banyak calon dalam pilkada?. Sudahkah mereka saling berkomunikasi sebelumnya
atau setidaknya mencari tahu kualitas pasangan lain yang maju untuk saling maukua bayang-bayang?. Andai mereka
benar telah melakukan hal ini dan paham prinsip kolaborasi, maka biaya kampanye
tersebut akan bisa untuk sesuatu yang lebih bermanfaat. Sungguh sia-sia jika miliaran
rupiah melayang hanya karena ambisi pribadi.
Era baru pertentangan ini terlihat semakin mengalami
penurunan kualitas figur. Ada 10 pasang calon dalam Pilkada Padang. Jika
dinilai dari cara mereka berkampanye di masa-masa sebelum kampanye ini, maka
kita bisa lihat di sepanjang jalan Kota Padang. Hanya poster dan spanduk berfoto
yang menyampahi jalanan, jarang sekali ide yang dijual. Pilkada Padang miskin
gagasan , sepi pembaharuan, yang ramai hanya jargon-jargon klise yang semakin
memuakkan masyarakat yang kian apolitis.
Ada tujuh calon independen dalam Pilkada Padang dan hanya
tiga yang berasal dari parpol. Jika para calon memahami dengan baik tatanan
ideal sebuah demokrasi, maka seharusnya ini tidak terjadi. Yang terjadi
sekarang adalah gejala delegitimasi parpol, dimana parpol yang seharusnya menjadi
instrumen utama dalam demokrasi semakin ditinggalkan dan para calon lebih
memilih jalan independen.
Mari Karajo Samo
Masa depan Kota Padang khususnya dan Sumbar secara umum jika
terus bertahan dalam prinsip samo-samo
karajo, maka akan sangat lambat untuk mencerah. Minangkabau terkenal dengan
gudang para tokoh, namun ironis ketika provinsinya sendiri masih lambat
berkembang, susah maju. Peringkat
kinerja tata kelola pemerintahan Sumbar berada di peringkat 20 dari 33
provinsi di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan 89 indikator pengukuran. Di antaranya, Human
Development Index (HDI), pendapatan perkapita, tingkat kemiskinan dan untuk
menganalisisnya digunakan dokumen APBD, statistik, Perda dan laporan-laporan
lainnya.
Banyak tokoh Sumbar dengan prestasi nasional hingga internasional,
namun belum optimal berkolaborasi. Orang minang gemar berorganisasi, namun sebagiannya
dangkal pemahaman akan substansi berorganisasi, di Jakarta saja ada lebih dari
200 organisasi berbau kekeluargaan minang. Banyak yang menjadikannya sebagai
alat untuk tampil secara pribadi ke permukaan. Mestinya organisasi jadi alat
berkolaborasi, menyinergikan potensi-potensi.
Ada Saudagar Muda Minang, Gebu Minang dan masih banyak lagi,
namun lagi-lagi seringkali terbentur pada prinsip samo-samo karajo atau terjebak kondisi kedangkalan pemahaman.
“Taimpik nak di ateh,
takuruang nak dilua”, petitih ini tampaknya melekat secara kurang
proporsional penerapannya dalam kehidupan individu minang. Mestinya ini
digunakan dalam kondisi tertentu ketika di rantau, bukan dalam konteks
membangun ranah.
Mambangun nagari
membutuhkan prinsip kolaborasi, bekerja sama. Mari belajar dari peradaban yang
lebih maju, Henri Ford menyatakan, “Kebersamaan adalah permulaan, menjaga
bersama adalah kemajuan, dan kekerja bersama adalah keberhasilan”.
Tulisan ini dimuat di Media Sumbar Online 11 September 2013
No comments:
Post a Comment