Friday, September 13, 2013

(Masih) Samo-Samo Karajo

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgAhPHyz_gYDQDV-nH2hY4eOYBOfmM5xk-dBA6h2u9luKX9CE3YDapEIoy_jfwNgsGrxgO4d6MrYrISAHKlXG0zJs0bJ2FoFVLZZqJF6ZBNP24n5ecT19zM5dtYtfqJoFG6x4U-RppbmsE/s1600/as.jpg

Hujan mengguyur kota Padang beberapa hari di minggu-minggu terakhir ini, membasahi kertas-kertas dan kain-kain bergambar aneka wajah yang minta dikenal. Bersama dengannya, slogan-slogan klise beserta nama-nama bergelar yang terpampang didalamnya menciut dingin, basi dan hambar.

Sekitar delapan abad yang lalu, tidak jauh dari kota tersebut berdiri Kerajaan Minangkabau yang menjadi akar peradaban Sumatera Barat (Sumbar) saat ini. Ketika itu di dalamnya terjadi pertentangan antara dua pemimpinnya. Ialah Datuak Katumangguangan dan Datuak Parpatiah nan Sabatang. Perbedaan ide dasar antara mereka kemudian membawa perpecahan kerajaan ke dalam dua sistem politik, yaitu Lareh Koto Piliang dan Bodi Caniago.


Sekitar tujuh abad kemudian, pertentangan antar Putra Minangkabau kembali tercatat oleh sejarah, namun kali ini dalam skala yang lebih luas. Adalah mereka menjadi tokoh republik. Syahrir, Hatta, Natsir, dan Tan Malaka. Dalam Majalah Tempo Edisi Khusus Hari Kemerdekaan Tahun 2008 dimuat artikel pertentangan Tan Malaka dengan Mohammad Hatta. Mereka berselisih paham tentang bagaimana memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. Sama-sama egois, Hatta sangat menentang komunisme. Ia menganjurkan koperasi dalam menegakkan ekonomi Indonesia. Sebaliknya, Tan Malaka percaya jika digabung antara Pan-Islamisme dan Komunisme, Indonesia bisa menjadi digdaya. Sementara itu, Syahrir bertahan dalam paham sosialisnya dan Natsir bersama Masyumi-nya.

Hari-hari akhir ini, hujan bersama sejumlah petaka yang menyertainya di Kota Padang seakan menjadi isyarat. Isyarat peringatan, antara memperingati semakin derasnya laju pertentangan antar putra Minangkabau atau memperingatkan mereka untuk meredam pertentangan.

Sepanjang tahun 2013 ini, ada empat pilkada yang diselenggarakan oleh KPU Sumbar, yaitu di Kota Padang, Padang Panjang, Sawahlunto, dan Pariaman. Keempat pilkada ini berlangsung ‘ramai’, paling sedikit diikuti oleh lima pasang calon, yaitu di Padang Panjang dan Sawahlunto. Kemudian di Pariaman diikuti tujuh pasang calon dan Padang ada sepuluh pasang calon. Ini adalah pikada kedua yang terbanyak pesertanya setelah Kabupaten Mimika di Papua yang mencapai sebelas pasang calon pada Agustus lalu.

Inilah era baru pertentangan antar Putra Minangkabau, atau mungkin bisa juga disebut sebagai buah demokrasi Indonesia pasca reformasi (?). Demokrasi memang memberikan ruang yang cukup luas bagi kemerdekaan beraspirasi, hanya saja sayangnya mereka yang beraspirasi terlihat masih belum cukup paham akan tujuan sang demokrasi memberi mereka kebebasan tersebut.

Sebuah petitih minangkabau menyebutkan, “Tatungkuik samo makan tanah, tatilantang samo minum ambun, tarapuang samo hanyuik, tarandam samo basah”. Petitih ini sepertinya disalah-tafsirkan oleh para calon kepala daerah di Sumbar, malah menjadi ; tabukak pilkada, samo sato manyalon. Padahal sesungguhnya petitih ini menjelaskan tentang pentingnya kerja sama yang baik dalam masyarakat. Anjuran untuk membentu satu kesatuan hati dan pikiran, kesatuan pendapat dan gerak sebagai pokok utama membangun peradaban yang lebih baik.

Seharusnya petitih di atas dipahami dengan benar oleh para putra minangkabau yang bertentangan di atas sehingga kemudian “Titiak buliah ditampuang, maleleh buliah dibaliak”. Hasil kerja sama yang baik antar mereka nantinya akan dapat dinikmati bersama oleh masyarakat yang akan mereka pimpin.

Terhadap kondisi klasik yang terus menerus terjadi dalam dinamika kehidupan para putra minangkabau di atas, kemudian muncul sebuah anekdot ; “Urang awak susah bakarajo samo, pandainyo samo-samo karajo”. Tingkat ego individual dan keinginan untuk tampil yang tinggi pada masing-masing mereka membuat mereka susah untuk berdamai demi kepentingan yang lebih besar ; masyarakat. Akhirnya mereka lebih memilih samo-samo karajo yang muatannya lebih besar demi ambisi pribadi.

Memang perbedaan adalah rahmat, karena dari sekian perbedaan tersebut kemudian mampu melahirkan kombinasi-kombinasi yang bisa jadi sinergis. Namun beda yang mer-rahmat disini adalah dalam konteks substansi gagasan, sintesis sebuah proses ber-pikir ; re-search. Bukan untuk sebuah perbedaan akan hal-hal kepentingan politik transaksional yang miskin ide dan dangkal landasan.

Berapa biaya yang dihabiskan untuk kampanye oleh sekian banyak calon dalam pilkada?. Sudahkah mereka saling berkomunikasi sebelumnya atau setidaknya mencari tahu kualitas pasangan lain yang maju untuk saling maukua bayang-bayang?. Andai mereka benar telah melakukan hal ini dan paham prinsip kolaborasi, maka biaya kampanye tersebut akan bisa untuk sesuatu yang lebih bermanfaat. Sungguh sia-sia jika miliaran rupiah melayang hanya karena ambisi pribadi.

Era baru pertentangan ini terlihat semakin mengalami penurunan kualitas figur. Ada 10 pasang calon dalam Pilkada Padang. Jika dinilai dari cara mereka berkampanye di masa-masa sebelum kampanye ini, maka kita bisa lihat di sepanjang jalan Kota Padang. Hanya poster dan spanduk berfoto yang menyampahi jalanan, jarang sekali ide yang dijual. Pilkada Padang miskin gagasan , sepi pembaharuan, yang ramai hanya jargon-jargon klise yang semakin memuakkan masyarakat yang kian apolitis.

Ada tujuh calon independen dalam Pilkada Padang dan hanya tiga yang berasal dari parpol. Jika para calon memahami dengan baik tatanan ideal sebuah demokrasi, maka seharusnya ini tidak terjadi. Yang terjadi sekarang adalah gejala delegitimasi parpol, dimana parpol yang seharusnya menjadi instrumen utama dalam demokrasi semakin ditinggalkan dan para calon lebih memilih jalan independen.

Mari Karajo Samo

Masa depan Kota Padang khususnya dan Sumbar secara umum jika terus bertahan dalam prinsip samo-samo karajo, maka akan sangat lambat untuk mencerah. Minangkabau terkenal dengan gudang para tokoh, namun ironis ketika provinsinya sendiri masih lambat berkembang, susah maju. Peringkat  kinerja tata kelola pemerintahan Sumbar berada di peringkat 20 dari 33 provinsi di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan  89 indikator pengukuran. Di antaranya, Human Development Index (HDI), pendapatan perkapita, tingkat kemiskinan dan untuk menganalisisnya digunakan dokumen APBD, statistik, Perda dan laporan-laporan lainnya.

Banyak tokoh Sumbar dengan prestasi nasional hingga internasional, namun belum optimal berkolaborasi. Orang minang gemar berorganisasi, namun sebagiannya dangkal pemahaman akan substansi berorganisasi, di Jakarta saja ada lebih dari 200 organisasi berbau kekeluargaan minang. Banyak yang menjadikannya sebagai alat untuk tampil secara pribadi ke permukaan. Mestinya organisasi jadi alat berkolaborasi, menyinergikan potensi-potensi.

Ada Saudagar Muda Minang, Gebu Minang dan masih banyak lagi, namun lagi-lagi seringkali terbentur pada prinsip samo-samo karajo atau terjebak kondisi kedangkalan pemahaman.

“Taimpik nak di ateh, takuruang nak dilua”, petitih ini tampaknya melekat secara kurang proporsional penerapannya dalam kehidupan individu minang. Mestinya ini digunakan dalam kondisi tertentu ketika di rantau, bukan dalam konteks membangun ranah.

Mambangun nagari membutuhkan prinsip kolaborasi, bekerja sama. Mari belajar dari peradaban yang lebih maju, Henri Ford menyatakan, “Kebersamaan adalah permulaan, menjaga bersama adalah kemajuan, dan kekerja bersama adalah keberhasilan”.

No comments:

Post a Comment