Kekeringan di Jembrana, Bali |
Beberapa waktu lalu saya membaca dua tulisan di sebuah media
dengan judul “Apakah perubahan iklim benar-benar terjadi?” dan “Mitos Perubahan
Iklim”. Hal ini menambah runyam skeptisisme terhadap perubahan iklim dan membuat
saya terpanggil untuk menanggapi dan melengkapi diskursus tersebut.
Tulisan pertama mencoba menghadirkan sejumlah penelitian
terkait perubahan iklim dan menyimpulkan bahwa perubahan iklim adalah siklus
normal bagi bumi. “Tak Perlu Histeris, tidak
perlu menunjukkan kekhawatiran yang berlebihan terhadap perubahan iklim. Kita
tidak bisa mencegah terjadinya perubahan iklim. Yang bisa kita lakukan adalah
melakukan adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan itu. Ada ribuan probabilitas
mengapa Tuhan menurunkan bencana pada suatu daerah. Ke semuanya bergantung pada
individu yang mendiami daerah itu”, argumen ini menutup ulasan tulisan
pertama.
Sementara di tulisan kedua, membandingkan fenomena perubahan
iklim dengan sejumlah fenomena sains alam lainnya dan berakhir pada kesimpulan
bahwa perubahan iklim adalah sesuatu yang diluar kemampuan dan kapasitas
manusia untuk menyikapinya.
Terkait apakah perubahan iklim adalah bagian dari siklus
iklim bumi yang dianggap normal, hal ini memang masih diperdebatkan di kalangan
ilmuwan. Tapi yang pasti, semenjak revolusi industri di abad 18, volume karbon
dioksida (CO2) yang dilepaskan ke atmosfer meningkat drastis dan berpengaruh
terhadap kenaikan suhu permukaan bumi. Intergovernmental Panel on Climate
Change (IPCC) mencatat kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi mencapai 0.85°C
dari tahun 1880 hingga 2012.
Ada sedikit kontradiksi arah pernyataan pada tulisan-tulisan
tersebut, dengan mencampurkan paham determinisme dengan possibilisme.
Determinisme berpendapat bahwa keadaan hidup dan perilaku manusia ditentukan
oleh faktor-faktor fisik geografis seperti perubahan iklim. Sedangkan possibilisme
berpandangan bahwa alam tidak menentukan apa-apa terhadap kehidupan manusia,
tetapi hanya memberikan kemungkinan- kemungkinan terbatas yang dapat dipilih
oleh manusia. Perubahan iklim berada di tengah pertentangan dua paham tersebut.
Terhadapnya, manusia harus bertindak secara terorganisir dalam struktur negara
dan kerjasama internasional.
Mungkin benar kita tidak perlu khawatir berlebihan, cukup
kekhawatiran yang proporsional. Hal ini telah diwujudkan oleh dunia
internasional dengan membentuk IPCC, United Nations Framework of Climate Change
Convention (UNFCCC) dan COP (Conference of The Parties). Bekerjasama dengan
berbagai stakeholder dari ilmuwan hingga sector privat, ketiga wadah tersebut
telah berkontribusi besar terhadap penyikapan perubahan iklim di dunia.
Salah satunya adalah terkait penyikapan kejadian bencana. Faktor
iklim berpengaruh besar terhadap probabilitas bencana, itulah kenapa ada
program integrasi adaptasi perubahan iklim (API) dan pengurangan resiko bencana
(PRB). Program ini merupakan tantangan yang perlu disinergikan dalam Sistem
Pembangunan Nasional setiap negara, diantaranya adalah kebijakan API dalam
mempertimbangkan risiko bencana untuk meningkatkan ketangguhan masyarakat dan
strategi API berdasarkan PRB untuk mengelola bahaya (pencegahan), mengurangi
kerentanan (mitigasi), dan meningkatkan kapasitas adaptasi (kesiapsiagaan).
Lalu menyoal tulisan kedua, semua fenomena sains pada
awalnya memang berada di luar kapasitas manusia untuk memahami. Dan kemudian perkembangan
sains itu sendiri juga yang membantu manusia pada akhirnya untuk memahami.
Rencana adaptasi dan mitigasi perubahan iklim adalah bentuk kesanggupan manusia
menyikapi perubahan iklim. Di Indonesia ada RAN-GRK (Rencana Aksi Nasional
Penurunan Emisi Rumah Kaca) yang ditetapkan sejak tahun 2011 dan disusul oleh RAN-API
(Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim) pada tahun 2013.
Kondisi terkini dari kedua aksi nasional tersebut menjadi to do list Indonesia dalam menyikapi
perubahan iklim. Dibawah arahan Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional (PPN) /BAPENNAS, RAN-GRK dan RAN-API memerlukan kesepahaman berbagai pihak
terkait terhadap rancangan pembangunan yang rendah emisi dan adaptif. Aksi
nasional ini saat ini ditengah diterjemahkan menjadi rencana aksi daerah (RAD)
di sejumlah pilot kota/kabupaten dan
provinsi. Secara nasional hingga level daerah, Bappenas berupaya mendesain bagaimana
mencapai target nasional dalam mengurangi emisi karbon hingga 29,41 % pada
2030.
Kendala terjadi pada proses mainstreaming RAD ke dalam
rencana kerja pemerintah (RKP), sebagian besar RKP tidak melibatkan tantangan
perubahan iklim. Dalam UU PPLH No 32/2009 menyatakan bahwa RKP harus didasarkan
pada prinsip pembangunan berkelanjutan yang terkait dengan perubahan iklim. Ini
adalah bagian dari KLHS (kajian lingkungan hidup strategis) yang seharusnya
terintegrasi dengan RKP. Salah satu konten dalam studi dampak RKP adalah
tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi wilayah terhadap perubahan iklim. Hal
ini penting untuk sinkronisasi rencana pembangunan desa dengan tingkat
kabupaten/provinsi. Beberapa program yang sudah berjalan, berlangsung di lokasi
yang salah, tidak di desa-desa yang rentan. Itulah sebabnya penilaian
kerentanan penting untuk membantu pemerintah memilih lokasi yang tepat untuk implementasi
program.
Untuk mendukung program pemerintah dan mengatasi kendala di
atas, sejumlah kalangan dapat berpartisipasi melalui ragam kontribusi. Akademisi
dan lembaga penelitian dibutuhkan untuk menghasilkan hasil kajian yang kuat
seperti kajian kerentanan dan resiko iklim, untuk menjadi sebuah dasar dalam
penentuan program prioritas pemerintah, terutama di tingkat daerah. Lalu para
lembaga swadaya masyarakat, bisa membantu melalui pemberian pelatihan,
sosialisasi dan pendampingan terhadap masyarakat terkait kesadaran adaptasi
terhadap perubahan iklim, termasuk transisi menggunakan teknologi dengan energy
terbarukan yang lebih ramah lingkungan untuk mendorong fungsi mitigasi.
Bagi sector privat dan keuangan, kontribusi terhadap
pendanaan program iklim adalah sangat berarti terhadap keberlanjutan dari aksi
mitigasi dan adaptasi yang tengah berlangsung. Ada sejumlah skema pendanaan yang
tengah dikembangkan seperti kerjasama pemerintah-swasta dan microfinance yang bisa
lebih kuat daripada CSR (Corporate Social Responsibility). Kemudian, yang juga
tak kalah penting adalah partisipasi masyarakat dalam mekanisme pengawasan,
pelaporan dan evaluasi dari program-program terkait. Hasil evaluasi ini akan
menjadi input bagi pemerintah dalam merancang kebijakan baru yang lebih
mendukung pencapaian komitmen Intended
Nationally Determined Contributions (INDC) Indonesia terhadap perubahan iklim.
Tulisan ini dimuat di Selasar dan Youth Proactive
No comments:
Post a Comment