Wednesday, September 21, 2011

Antara ‘Penting’ dan ‘Kepentingan’





“UI memiliki visi yang besar, yaitu ingin membangun peradaban”

Kalimat di atas berulang kali ditegaskan dalam presentasi seputar profil Universitas Indonesia (UI) di kegiatan mahasiswa baru UI 2011 oleh Gumilar Rusliwa Soemantri, Sang Rektor UI yang akhir-akhir ini menjadi kalem. Padahal saat presentasi ketika itu di hadapan lebih kurang 6000 mahasiswa baru sang rektor begitu percaya diri dan optimis menyampaikan sejumlah mimpi-mimpi besar UI berupa sejumlah proyek pembangunan yang fantastis. “Semua itu terjadi dari tahun 2007-2012”, ujar sang rektor berapi-api ketika itu. Hal ini menyiratkan dengan sangat jelas bahwa kalimat itu adalah diksi lain dari kalimat “semua itu karena saya dan (mungkin) pilihlah saya kembali untuk periode berikutnya”.

Hanya berselang lebih kurang sekitar tiga minggu setelah presentasi itu sang rektor lalu tiba-tiba berubah menjadi kalem. Sang rektor muncul di media massa dengan nada kalimat yang sangat santun sekali, sangat berbanding terbalik jika dibandingkan dengan nada-nada setiap kalimatnya ketika presentasi tiga minggu sebelumnya. “Saya meminta maaf”, ujar sang rektor di media massa terkait masalah kontroversi pemberian gelar doktor honoris causa terhadap Raja Arab Saudi. Masalah yang disebut sebagai puncak gunung es berbagai permasalahan di UI ini pun kini telah berhasil menyemburkan berbagai permasalahan (kebohongan) lain ke permukaan. Sang rektor pun berada dalam status awas. Inilah akibat dari kekhilafan sang rektor yang gagal memisahkan antara ‘penting’nya menjaga amanah mencapai visi UI dengan ‘kepentingan’ menjaga citra melalui kebohongan.

Lima hari setelah lebaran, Senin (05/09) segenap sivitas akademika UI berkumpul di FE UI untuk mengadakan kegiatan yang diberi nama Orasi Ilmiah dari Prof. Emil Salim (Guru Besar UI). Orasi ilmiah tersebut membahas seputar gunung es berbagai permasalahan di UI yang disepakati ketika itu diakibatkan oleh sistem tata kelola UI yang kurang baik. Sejumlah tokoh besar di UI pun juga angkat bicara ketika itu menyumbangkan pemikiran (kampanye)-nya. Hadir ketika itu beberapa Dekan Fakultas, para guru besar, ketua lembaga-lembaga mahasiswa, dan perwakilan dari paguyuban pekerja.

Beberapa hari sebelumnya Thamrin Tamagola (Dosen FISIP UI) yang paling gencar membuka aib UI di media berucap labil “he must go out”, tujunya untuk sang rektor. Tak lama setelah itu, berbagai tokoh pun juga ikut bermunculan berebut menjadi dewa penyelamat atas kisruh yang terjadi di UI. Hingga akhirnya muncul desas-desus bahwa semua alur kisruh tersebut telah diskenariokan oleh oknum-oknum tertentu demi mencapai kepentingannya. Tak mau ketinggalan juga, oknum mahasiswa yang mungkin tidak mengetahui skenario tersebut juga ikut mengambil peran berebut kepentingan di dalamnya.

Tidak ada seorang pun yang saat ini cukup tahu isi hati sejumlah tokoh atau oknum tersebut. Yang pasti berbagai atribut bertuliskan ‘save UI’ saat ini bertebaran di UI. Apakah segala daya upaya yang mereka lakukan memang murni dan tulus sesuai dengan tulisan di atribut-atribut itu?. Ataukah memang benar semua hanya demi kepentingan mengejar ambisi pribadi?. Belajarlah dari pengalaman sang rektor.

Inilah potret kaburnya batasan antara hal penting dan pentingnya sebuah kepentingan hari ini. Padahal tokoh masa lalu kita adalah mereka yang memiliki kompetensi, kedekatan dengan rakyat, dan minim kepentingan pribadi. Sangat berbeda dengan saat ini dimana para tokoh mengalami defisit integritas dan kesederhanaan serta dibanjiri kepentingan.

2 comments:

  1. Ngeliat UI sekarang...
    gak sehijau dulu..
    *anak kampus tetangga -PNJ-

    ReplyDelete
  2. ya kita sama2 berharap yang terbaik dan mohon doanya untuk perjuangan rekan2 kita yang memperjuangkan ini.

    ReplyDelete