Tuesday, August 9, 2011

Maroko [Jangan] Belajar Demokrasi dari Indonesia



Hubungan Persahabatan RI-Maroko merupakan salah satu bentuk hubungan internasional yang sejatinya mencakup rentang isu yang luas, dari globalisasi dan dampak-dampaknya terhadap masyarakat-masyarakat dan kedaulatan negara sampai kelestrarian ekologis, penggunaan energi, nasionalisme, perkembangan ekonomi, budaya, pendidikan, keselamatan umat manusia, hak-hak asasi manusia, dan berbagai bidang lainnya. Sebagian besar hal di atas sesungguhnya telah dilakukan oleh kedua negara yang menjalin hubungan cukup baik selama 51 tahun hingga disebut sebagai “Akh Syaqiq” (Saudara kandung). Konon kisahnya di masa lalu hubungan kedua negara ini begitu indah.

Namun jika berbicara tentang masa lalu maka membuat saya ingat akan sebuah film yang berjudul “Back To the Future”. Film tersebut berpesan agar kita jangan pernah terpaku pada masa lalu karena kita hidup saat ini. Lakukan yang terbaik saat ini demi masa depan. Biarlah masa depan tetap menjadi misteri dan lakukan yang terbaik saat ini, karena apa yang kita lakukan saat ini akan berkontribusi untuk masa depan kita. Masa lalu merupakan sebuah kenyataan hidup yang menjadi pengalaman penuh arti. Jadikan ia sebagai pembelajaran dan perbaiki kesalahan-kesalahan yang telah kita lakukan pada masa lalu, ya tentunya bukan dengan kembali ke masa lalu, namun dengan melakukan perbaikan pada saat ini.
Pertanyaan pertamanya adalah “apa perbaikan yang bisa kita lakukan saat ini?”. Sistem politik, ia adalah subsistem dari sistem sosial. Perspektif atau pendekatan sistem ini melihat keseluruhan interaksi yang ada dalam suatu sistem tersebut yakni suatu unit yang relatif terpisah dari lingkungannya dan memiliki hubungan yang relatif tetap di antara elemen-elemen pembentuknya. Hal ini berarti sistem ini berpengaruh besar terhadap banyak aspek kehidupan dalam suatu negara. Hal inilah perbaikan yang akan kita lakukan. Demokrasi, ia merupakan sistem politik yang sama-sama dianut oleh kedua negara. Namun disini terdapat sedikit perbedaan dalam pencapaian penerapannya.

Pasca reformasi, pelaksanaan demokrasi di Indonesia mengalami kemajuan yang sangat pesat. Hal ini diungkapkan Presiden SBY saat berbicara pada forum World Movement for Democracy (WMD) di Jakarta pada bulan April 2010 lalu. Ia menyatakan bahwa praktik demokrasi di Indonesia menunjukkan perkembangan positif dengan segala dinamikanya. Terselenggaranya pemilu di berbagai tingkat pemerintahan, terwujudnya kebebasan pers, dan berbagai pencapaian lain merupakan wujud kemajuan demokrasi di Indonesia. Namun ternyata fakta hari ini tentang berbagai kemajuan tersebut menimbulkan dampak negatif dan berbagai resiko yang cukup fatal nantinya.

Pemilu di Indonesia yang berdasarkan pada suara terbanyak rakyat ini nantinya bisa berakibat fatal jika suara terbanyak itu ternyata jatuh pada orang yang salah. Hal ini bisa saja terjadi mengingat money politic yang sangat marak di Indonesia. SBY pun juga menyatakan bahwa ada dua faktor penghambat demokrasi yang belum tuntas, yaitu politik uang dan politik ketergantungan. Hal selanjutnya yaitu terkait kebebasan pers yang sangat bebas. Media di Indonesia saat ini sebagian besar telah sarat akan kepentingan politik pemilik media. Banyak sekali media partisan yang tumbuh bahkan menjadi besar.

Lukas Luwarso, mantan Direktur Eksekutif Dewan Pers menyatakan bahwa kebebasan pers yang sangat longgar saat ini tidak hanya menumbuhkan ratusan penerbit baru. Akan tetapi, juga menimbulkan kebebasan pers yang anarkis. Kebebasan pers telah menghadirkan secara telanjang segala keruwetan dan kekacauan. Publik bisa menjadi leluasa membaca dan menyaksikan pola tingkah figur publik. Serta, hampir tidak ada lagi rahasia atau privasi. Tabloid-tabloid yang sangat sarat berita dan foto pornografi sangat marak. Judul-judulnya pun sensasional, menakutkan dan bahkan menggemparkan (scare headline). Berita-berita yang ditampilkan sebagian besar media cenderung selalu menekan pemerintahan.

Fakta-fakta di atas berdampak pada kekacauan pola pikir masyarakat. Kisruh politik dan berbagai kekacauan di negeri ini yang selalu digembar-gemborkan di media membuat sebagian besar masyarakat merasa muak dan pesimis akan kemajuan negerinya, hal ini juga yang memicu semakin meningkatnya brain drain di Indonesia. Hal ini juga berdampak pada lambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia karena ketidak-stabilan politik dalam negeri yang didramatisir media. Semua fakta di atas menimbulkan dilema tentang demokrasi di Indonesia. Pertanyaan keduanya adalah “apakah seperti ini demokrasi yang Indonesia inginkan?”.

Sedangkan di lain sisi Maroko saat ini justru tengah gencar untuk menerapkan praktik-praktik demokrasi di negaranya. Bahkan Wakil Menteri Luar Negeri Maroko Latifa Akherbach menyatakan ingin belajar demokrasi dari Indonesia. Hal itu disampaikan Latifa Akherbach dalam resepsi peringatan 50 tahun hubungan diplomatik Indonesia- Maroko tahun 2010 lalu di Rabat. Hal ini sangat ironi sekali jika kita memperhatikan dampak-dampak demokrasi di atas. Hal yang sama juga bisa terjadi pada Maroko dan bahkan mungkin bisa berdampak lebih parah.

Dampak lebih parah tersebut dipicu oleh Konstitusi Maroko yang mengatakan bahwa Islam adalah agama resmi negara dan semua hukum harus berkesesuaian dengan syariah. Sedangkan faktanya antara Islam dan Demokrasi memiliki beberapa nilai yang cukup bertentangan. Abdul Qodim Zallum dalam bukunya “Demokrasi Sistem Kufur” menyatakan bahwa ada kontradiksi antara Demokrasi dengan Islam. Hal tersebut dibagi menjadi lima unsur. Pertama adalah sumber kemunculan, sumber kemunculan demokrasi adalah manusia. Sedangkan Islam sangat bertolak belakang dengan demokrasi dalam hal ini. Islam berasal dari Allah, yang telah diwahyukan-Nya kepada rasul-Nya Muhammad bin Abdullah SAW.

Yang kedua yaitu Aqidah. Adapun aqidah yang melahirkan ide demokrasi, adalah aqidah pemisahan agama dari kehidupan dan negara (sekularisme). Sedangkan Islam dibangun di atas landasan Aqidah Islamiyah, yang mewajibkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah –yakni hukum-hukum syara’ yang lahir dari Aqidah Islamiyah– dalam seluruh urusan kehidupan dan kenegaraan. Yang ketiga yaitu pandangan tentang kedaulatan dan kekuasaan. Demokrasi menetapkan bahwa rakyatlah yang memiliki dan melaksanakan kehendaknya, bukan para raja dan kaisar. Rakyatlah yang menjalankan kehendaknya sendiri. Sementara itu, Islam menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan syara’, bukan di tangan umat.
Keempat yaitu prinsip mayoritas. Demokrasi memutuskan segala sesuatunya berdasarkan suara terbanyak (mayoritas). Sedang dalam Islam untuk masalah yang berkaitan dengan hukum syara’, yang menjadi kriteria adalah kekuatan dalil, bukan mayoritas. Terakhir yaitu kebebasan. Dalam demokrasi dikenal ada empat kebebasan, yaitu: Kebebasan beragama (freedom of religion), Kebebasan berpendapat (fredom of speech), Kebebasan kepemilikan (freedom of ownership) dan Kebebasan bertingkah laku (personal freedom). Sedangkan dalam Islam seorang muslim wajib terikat dengan hukum syara’ dalam segala perbuatannya. Fakta-fakta ini pun melahirkan pertanyaan ketiga yaitu “apakah Demokrasi seperti Indonesia tepat diterapkan di Maroko mengingat Maroko adalah negara Islam?”.

Ketiga pertanyaan di atas sesungguhnya saling terkait satu sama lain. Untuk menjawab pertanyaan pertama maka kita harus menjawab pertanyaan kedua dan ketiga terlebih dahulu. Demokrasi yang diinginkan oleh rakyat di Indonesia tentu bukanlah seperti yang menimbulkan dampak seperti sekarang. Indonesia perlu mengevaluasi dan menata ulang sistem demokrasinya. Indonesia harus belajar dari banyak negara maju. Datuk Fuad Ibrahim dari Kementrian Komunikasi dan Kebudayaan Malaysia pernah mengungkapkan Indonesia membutuhkan Guided Democration.

Sedangkan untuk Maroko, hal ini cukup serius mengingat hal ini sangat bertentangan dengan konstitusi negaranya. Maroko harus bisa belajar dari evaluasi pelaksanaan demokrasi di Indonesia dan negara Islam lain. Hubungan baik yang terjalin antar kedua negara seharusnya memperhatikan permasalahan ini. Kedua negara dapat saling mengevaluasi dan merumuskan sistem politik seperti apa yang tepat untuk diterapkan di kedua negara. Apakah demokrasi memang jawaban yang tepat?. Jika ia, maka demokrasi seperti apa yang dimaksud?. Kedua negara harus menemukan jawaban dari permasalahan ini demi akselerasi kemajuan kedua negara.

Daftar Pustaka
http://pewarta-indonesia.com/kolom-pewarta/indonesia-maroko/5228-51-tahun-hubungan-qakh-syaqiqq-indonesia-maroko-35s.html
http://islam-download.net/contoh-contoh/contoh-hubungan-internasional-indonesia.html
http://wal-ashri.blogspot.com/2009/05/masa-lalu-masa-kini-masa-depan.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_politik
http://www.citydirectory.co.id/news/item/indonesian-democratic-post-reformation-
http://suara-santri.tripod.com/files/nasional/nasional5.htm
http://www.antaranews.com/berita/1277171547/maroko-ingin-belajar-demokrasi-dan-islam-dari-indonesia
http://www.eramuslim.com/berita/dunia/kementerian-pendidikan-maroko-hapus-nuansa-islam-dari-buku-buku-sekolah.htm
http://ekonomipolitikislam.blogspot.com/2009/04/demokrasi-sistem-kufur.html

Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Artikel Hubungan Indonesia Maroko yang diselenggarakan oleh PPWI Indonesia.

2 comments:

  1. Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kita perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

    ReplyDelete
  2. terima kasih komennya :)
    namun ada beberapa catatan dari saya :
    1 saya tidak suka istilah kafir disini, karena istilah tersebut hanya allah yang berhak tetapkan. bagaimanapun mereka tetap hamba Allah, saudara kita sesama manusia yang wajib kita ingatkan
    2 soal negara islam ini panjang perdebatannya, intinya tidak perlu ada negara islam, yang penting nilai2nya terinternalisasikan, hal inilah yang akan memberikan kebermanfaatan yang universal ke depannya kepada semua umat manusia, disinilah nilai2 islam dirasakan saudara2 kita yang belum memeluk islam. insyaallah ini bisa membantu mereka untuk mengenal islam yand sesungguhnya, rahmatan lil alamin.

    ReplyDelete