Tuesday, August 9, 2011

Galau Masa SMA



April 2009
‘Ternyata hanya mimpi’ ucapku ketika bangun. Aku bermimpi bahwa aku lulus di program studi Geografi dalam sebuah ujian masuk suatu perguruan tinggi. Ujian yang berlangsung beberapa bulan yang lalu. Aku mencoba sejenak berpikir bahwa dulu sebelumnya aku juga pernah bermimpi bahwa aku menjadi juara kelas. Besoknya ternyata aku memang benar juara kelas. Aku berharap semoga kali ini kejadian serupa kembali terulang. Amin.

Hari itu tepat adalah hari pengumuman kelulusan ujian masuk tersebut. Sebenarnya pengumumannya telah keluar di internet sejak tepat tengah malam tadi saat aku bermimpi. Namun karena keterbatasan teknologi yang aku punya dan keinginanku untuk melihatnya bersama teman-teman yang lain memaksaku untuk menunda rasa penasaranku akan kebenaran mimpi itu hingga siang. Sebenarnya alasan yang kedua hanya excuse-ku saja untuk menutupi alasan pertama. Maklum, saat itu ketika SMA aku masih belum terlalu percaya diri dengan kenyataan hidupku yang belum bisa merasa ‘cukup’.

Kebetulan di hari bersamaan itu aku juga punya agenda untuk mengikuti try out ujian masuk perguruan tinggi yang diadakan oleh suatu organisasi mahasiswa dari sebuah perguruan tinggi di luar provinsiku, Sumatera Barat. Aku pun berangkat cukup pagi bersama motor teman dan menikmati terselamatkannya uang ongkos angkot-ku pagi ini. Sesampai disana terlihat sudah cukup ramai tapi tentu aku belum terlambat karena acara belum dimulai. Di negeri ini memang keterlambatan itu relatif teman, tergantung kepada pihak kedua yang menilai. Dalam konteks ini meskipun waktu sudah menunjukkan pukul delapan dimana menurut informasi sebelumnya seharusnya acara telah dimulai tapi dikarenakan panitia belum memulai acara hingga pukul tersebut itu berarti aku belum terlambat teman.

Setelah menitipkan motor kepada alam dan meminta perlindungan Tuhan demi keamanannya maka setelah itu kami : aku dan teman-teman berjalan menuju kursi tanpa meja. Ya disinilah aku akan ujian, sebuah aula yang benar-benar multifungsi. Bisa digunakan untuk olahraga, pagelaran kesenian, konser musik, kuliah umum, dan hingga latihan paduan suara. Arsitektur benar-benar hebat dan hemat. Mudah-mudahan try out ini hanya untuk ujiannya saja, tidak termasuk kondisi tempatnya juga. Tidak terbayang olehku jika nanti ketika ujian sebenarnnya aku juga harus duduk di lantai dan menjadikan kursi sebagai meja untuk alas lembar jawabannku agar bisa menghitamkan bulatan-bulatan itu dengan baik.
Ujian pun dimulai dengan keterlambatan sekitar tiga puluh menit dari jadwal semula. Aku berjuang hingga akhir dan akhirnya berakhir pada sekitar pukul dua belas. Tapi masih ada sesi kedua setelah istirahat siang kami pun dipersilahkan untuk keluar dari ruangan terlebih dahulu untuk menanggung nasib masing-masing untuk shalat dan makan siang. Kami pun mulai menyusun strategi langkah apa yang akan dilakukan selanjutnya. Sampai akhirnya pada keputusan kami akan shalat terlebih dahulu. Betapa bijaksananya kami.

Usai shalat kami lanjut pada strategi kedua yaitu menjajah warung internet (warnet) untuk menemukan nasib kami yang berada di dalamnya terkait pengumuman kelulusan yang telah disebarkan dari tengah malamya. Satu komputer kami keroyok bersama-sama dalam keadaan hati penuh gejolak tanda tanya. Satu per satu temanku mulai mengetikkan identitasnya hingga keluar hasilnya berupa ucapan ‘maaf anda belum diterima’. Jawaban yang sangat miris dan mengesalkan. Kenapa hanya itu dan tidak ada ucapan nasihat yang menyuruh untuk mencoba kembali?, ya sudahlah aku coba ber-husnudzan mungkin operatornya tidak bisa berbasa-basi dan sedang dikejar batas waktu.

Sampailah akhirnya pada giliranku, aku membaca basmalah terlebih dahulu sebelum menyerahkan identitasku pada keyboard komputer itu. Sesaat kemudian muncul halaman layar yang berbeda dengan sebelumnya seperti ketika teman-temanku yang lain melakukan hal yang sama. Tertulis disana ‘selamat anda diterima di program studi geografi’. Sontak seluruh tubuhku bersorak mengucap syukur. Mimpiku kembali menjadi nyata. Alhamdulillah dan sujud syukur pun kulakukan di dalam kotak sempit sebelah komputer dalam kamar warnet itu. Teman-temanku pun tak berhenti mengucapkan selamat dan tentunya berbonus minta traktiran.

Semua strategi yang telah kami susun pun akhirnya berubah total. Tujuan selanjutnya pun berubah menjadi Bakso Tenis, sebuah kafe di pusat kota. Selamat tinggal try out, kami pun berangkat. Dalam perjalanan aku tak henti mengucap syukur dan kebahagiaanku tak terbendung hingga kau memberi tahu banyak orang lewat SMS. Ketika itu aku langsung ingat akan dia : Ririn, seorang wanita yang setahun ini berpengaruh cukup besar dalam hidupku. Teman-temanku menyebut kami ‘pacaran’. Ya sudah aku setuju saja.

Beberapa hari yang lalu kami kembali bertengkar. Kehidupan kami sudah akrab dengan pertengkaran semenjak kebohongannya terungkap olehku. Bagiku kebohongan itu sangat menyakitkan dan membuatku sangat susah untuk kembali percaya kepadanya. Ditambah lagi hubungan kami juga tidak mendapat restu dari orang tuanya dan teman-temannya. Ya semakin terjallah jalan yang harus kami hadapi. Pertengkaran kami tidak jauh dari alasan kecemburuan berazaskan dugaan karena kepercayaanku yang memang sudah sangat tipis padanya, atau bahkan sudah tidak ada.
Aku akhirnya memberi tahu dia tentang berita kelulusanku dan aku mengajaknya bertemu di tempat yang sama dimana aku men-traktir teman-temanku. Ketika aku tengah makan bersama teman-temanku dia pun datang dan tentu karena kondisi kami yang pasca bertengkar sehingganya raut wajahnya tidak lagi manis bagiku begitu juga baginya. Dia datang dengan ekspresi dingin membuatnya terlihat semakin tidak menarik bagiku. Aku pun menghampirinya sebentar dan meninggalkan teman-temanku bersama teriakan-teriakan menggoda mereka mengiringiku menuju tempat dia duduk. Aku menemani dia memesan makanan dan bercerita sedikit tentang kelulusanku. Wajahnya belum bisa tersenyum ikhlas berbahagia.

Setelah makanannya habis dan cukup puas menertawakanku bersama dia teman-temanku pun pulang terlebih dahulu meninggalkan kami. Tentunya ya sambil terus melanjutkan menggodaku bersama dia. Mereka pun lenyap dan tinggal kami berdua di meja itu menatapi makanan masing-masing. Sekumpulan orang disekitar kami pun seolah-olah diam. Sepi kali suasana tatkala itu. Aku mencoba mencari bahan pembicaraan dan kupikir dia pun melakukan hal yang sama. Dalam pikiranku yang ada adalah bagaimana kelanjutan hubungan kami setelah ini karena aku tentu pasti akan berada sangat jauh darinya : berbeda kota.

Kuyakin dia pun juga pasti memikirkan hal ini lebih dalam dariku. Namun tak satu pun dari kami yang berani membahas hal ini. Kami pun mencoba mencari topik lain yang ringan seputar berita kelulusan teman-teman yang lain. Hingga akhirnya topik dan makanan pun habis kami kemudian keluar dari kafe itu dan berangkat menuju tempat les. Dia ada jadwal les sore itu. Ketika meninggalkannya di tempat les wajahnya kosong, begitu juga dengan wajahku. Ya kami memang ternyata memikirkan hal yang sama tadi.

Hari demi hari berlalu seiring pertengkaran rutin kami yang selalu terjadi karena azas tidak percaya. Sampai akhirnya kami pada hari dimana jarak memisahkan kami. Ujian akhir sekolah telah usai dan aku tidak ikut les persiapan untuk ujian masuk perguruan tinggi nasional karena aku telah memutuskan untuk mengambil geografi di perguruan tinggi Jakarta itu. Ada sekitar dua bulan libur yang kumiliki menjelang hari pendaftaran ulang di Bulan Juli nanti. Keluargaku menganjurkan aku untuk pergi ke tempat nenek dan membantu paman disana berpetualang di ladang nenekku di bukit. Ya aku pikir ini menantang sehingga aku pun mengikutinya.

Sebelum aku berangkat ke tempat nenek aku pun memutuskan untuk bertemu terlebih dahulu dengannya. Kami pun bertemu dan seperti biasa wajahnya dan wajahku dingin. Kami semakin sulit untuk menikmati hubungan ini karena pertengkaran yang terlalu akrab dengan kami. Aku memberi tahu padanya bahwa aku akan menghabiskan masa liburan ini di tempat nenek. Dia masih tetap diam dengan wajah yang sedikit cemas. ‘Kapan kamu balik?’, dia pun bertanya. ‘Mungkin sebelum pengumuman kelulusan’, ujarku dingin. Kami kembali beku, dingin, dan diam.

Sesaat kemudian mulutku bergetar ‘ini adalah masa percobaan untuk kita, kita mencoba untuk menjalani hubungan jarak jauh. Jika kita berhasil maka ini bisa menjadi pertanda baik bagi kita, namun jika gagal..’, aku pun tidak bisa melanjutkan kalimat itu. Dia pun menjawab ‘ya sudah, mari kita coba. Semoga berhasil’, nadanya kurang optimis. Percakapan itu menutup pertemuan kami saat itu. Kami pun terpisah dalam hati nan dilema.

Minggu pertama aku berada di tempat nenek, seperti biasa kami masih saja tetap disajikan pertengkaran dengan alasan klasik : cemburu tak beralasan karena tidak percaya. Malam demi malam yang aku lalui disana tidak berjalan dengan baik, aku pun sering susah tidur dan kesepian disana. Pertengkaran kami setiap hari mengalami peningkatan kadar hingga menuju istilah ‘putus’ dan akhirnya sehari setelahnya kembali damai dengan tangisan-tangisan yang mulai terdengar mombosankan. Betapa kejamnya aku mengabaikan tangisan wanita. Tapi memang apa yang dilakukannya padaku sangat menyakitkan hingga membuat aku tak mampu tegar : meneteskan air mata, aku tidak mau sebut itu menangis.

Hari demi hari suasana batinku semakin tidak tenang, hubungan ini sangat tidak nyaman bagiku karena hanya menghasilakn pertengkaran hampir setiap harinya. Sampai akhirnya kami pada titik dimana ketika bertengkar dan sampai pada kata ‘putus’. Titik, ya memang putus tanpa ada damai lagi seperti biasanya. Emosi kami berdua memang telah sama-sama memuncak. Dia tidak lagi menangis memohon untuk kembali seperti biasanya. Melainkan sebaliknya dia malah menghujani aku dengan beragam makian yang tentu membuatku semakin naik pitam.

Beberapa hari kemudian ternyata dia kembali menghubungiku dan ternyata kembali pada ritual lama. Dia memohonku untuk kembali dan aku tentu sudah cukup muak dengan semua itu. Aku pun tidak bisa menerimanya lagi meskipun dia terus memohon. Namun kali ini tidak seperti biasanya yang dia memohon dengan sangat emosional. Setelah aku menolak beberapa kali dia pun menyatakan kalimat bijaksana ‘ya sudah, semoga kita bisa tetap menjadi teman baik’. Aku pun kaget mendengar kalimat tersebut, antara kagum, bahagia, sedih, dan merasa bersalah serta menyesal.

Sesungguhnya aku pun masih mencintainya meskipun segudang benciku padanya karena kebohongannya. Sepuluh bulan bukanlah waktu yang singkat untuk dilupakan dan dihapus begitu saja. Terlalu banyak kisah manis bersamanya yang pernah tercipta meskipun juga banyak bertengkarnya. Aku terdiam, tidak menjawab apa-apa seusai dia mengucapkan hal itu di ujung sana dan menutup telepon. Aku terhenyak dan aku tak tau apa yang terjadi dengan dia disana.

Beberapa hari kemudian aku pun disuruh pulang oleh ayah karena ia sakit. Aku pun kembali ke rumah diiringi lambaian tangan kerabatku di tempat nenek. Pengalaman bertualang yang luar bisa di bukit dan kisah tragis percintaan, hal itulah yang mengisi liburanku hingga saat tersebut. Setelah sampai di rumah hari-hariku diisi dengan membantu orang tua di rumah. Aku pun merasa ada yang hilang. HP –ku sekarang menjadi sepi, tidak ada lagi SMS seperti biasanya membanjiri. Aku pun tak tahan dan memutuskan untuk kembali bertemu dengannya. Kami pun bertemu dan…kami tak kuasa menahan ketidak-tegaran itu. Ya kami menangis dalam pelukan raga.

Sesungguhnya kami berdua masih memiliki perasaan yang sama, hanya saja keadaan kami sekarang tidak mendukung untuk keberlanjutan hubungan kami. Ya memang inilah jalan yang terbaik untuk kami. Aku tidak mau terus menerus menyiksa dia dengan rasa bersalah karena tuduhanku yang selalu memicu pertengkaran karena tidak percaya akan ucapannya. Aku pun tidak mau membuat mimpinya menjadi hancur karena belajarnya tersiksa karena pertengkaran kami.

Kami pun juga tidak bisa jauh karena terbiasa dekat, hanya berjarak beberapa meter dari kursinya hingga kursiku. Ya kami satu kelas dan sulit untuk berada dalam keadaan berbeda pulau. Semua alasan itu memutuskan kami untuk mengambil kesimpulan ‘kejarlah mimpi kita masing-masing, jika nanti saatnya Tuhan tahu yang terbaik bagi kita’.

Juli 2009
‘Selamat Jalan, aku akan menunggumu’, tulisan itu terpapar di layar HP ku sesaat sebelum keberangkatanku ke Jakarta.

Mei 2011
Aku pun tersenyum ketika mengakhiri tulisan diatas. Betapa galaunya hatiku dulu. :D

Cerpen ini diikutsertakan dalam Pena Merah Competition 2011

No comments:

Post a Comment