Tuesday, August 9, 2011

Sinergisasi Mitigasi Bencana



“Bukan lautan, tapi kolam susu”(Koes Plus)

Penggalan lirik lagu diatas mungkin perlu ditambahkan dengan kata ‘beracun’. Karena ternyata lautan kita terkadang juga dapat mematikan disebabkan potensi bencana didalamnya. Berbicara potensi bencana di Indonesia sudah sangat sering dibahas. Melangkah kepada solusi berarti kita harus benar-benar memikirkan dan merencanakan strategi mitigasi bencana.
“Sinergi dibutuhkan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat hingga dunia internasional dalam mitigasi bencana”, ucap Kepala Badan Penanggulangan Bencana Nasional Syamsul Maarif terkait ASEAN Regional Forum Disaster Relief Exercise (ARF DiREx) di Manado, Sulawesi Utara pada tanggal 14 – 19 Maret 2011 lalu. Solusi ini bercermin kepada kesuksesan Jepang dalam mitigasi bencananya yang diatur dalam konstitusinya. Hal ini memang solusi yang sangat ideal.
Namun pada pelaksanaannya kita terkendala oleh permasalahan dari tiap unsur terkait diatas.
Dana penanggulangan bencana yang dianggarkan pemerintah pusat hanya Rp250 miliar untuk tahun 2010. Tahun ini anggaran meningkat menjadi Rp663 miliar untuk seluruh wilayah Indonesia. Sementara itu Jepang memiliki pesawat dan teknologi tinggi lainnya yang bernilai ratusan triliun rupiah untuk menanggulangi bencana.
Pada tataran pemerintah daerah (pemda), manajemen penanganan bencana alam yang tidak antisipatif masih sering terjadi. Contohnya pada akhir 2007 dan awal 2008 ketika banjir besar di Kabupaten Bojonegoro. Pemda kebingungan mencari dana karena keuangan di APBD tinggal Rp300 juta dan sebagian besar APBD habis untuk Pilkada. Dari kalangan ilmuwan, para ahli Indonesia telah membuat pemetaan kawasan rawan bencana. Mereka membuat pengelompokan daerah tidak berpenghuni, boleh bercocok tanam, dan daerah mana saja yang boleh berpenghuni. Sayangnya, sosialisasi hal ini dan kesadaran dari masyarakat kita masih sangat rendah.
Berbagai permasalahan diataslah yang akhirnya mengakibatkan sinergisitas yang diharapkan tak kunjung terwujud. Pemerintah pusat seharusnya memandang mitigasi sebagai investasi bukanlah cost. Begitu juga dengan pemda seharusnya memiliki manajemen keuangan yang lebih baik, terutama untuk daerah yang memiliki potensi bencana lebih besar. Terkait masyarakat, dalam UU 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, bencana yang terjadi tidak bisa dibebankan kepada pemerintah seluruhnya. Masyarakat juga harus bisa mencerdaskan diri sendiri. Maka dari itu seharusnya masyarakat memiliki kesadaran lebih dalam hal mitigasi bencana
Jika semua perbaikan diatas telah tercapai maka kita dapat memulai langkah sinergisasi. Dimulai dengan koordinasi berbagai organisasi atau lembaga yang terlibat di lapangan harus bersifat proaktif. Koordinasi harus terpusat pada lembaga yang berwenang dan ditunjuk sehingga tidak saling menunggu. Dalam menjalankan misi ini tentu kita harus memiliki standar operasional prosedur (SOP) yang rapi.
Imam A Sadisun dari Pusat Mitigasi Bencana Institut Teknologi Bandung menyatakan bahwa ada beberapa ketentuan dasar dari SOP mitigasi bencana. Pertama yaitu kita harus mendefinisikan jenis aktifitas yang akan dilakukan dalam kondisi darurat. Kedua, menetapkan tolak ukur penilaian suatu pencapaian aktifitas. Ketiga, menyusun antisipasi faktor-faktor yang paling berisiko. Keempat, membangun jaringan dalam melakukan pertolongan darurat. Kemudian melakukan estimasi berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan masing-masing aktifitas. Terakhir adalah membuat jadwal seluruh kegiatan yang diperlukan selama kondisi darurat dengan cermat dan sistematis.

No comments:

Post a Comment