Monday, February 4, 2013

Saatnya Bicara Solusi!


sumber : http://iqramahbaraputra.files.wordpress.com/2011/11/solusi2.jpg

“Menurut ahli A, B, C, dan bla bla..”

Begitulah sayup-sayup suara dalam sebuah diskusi antar mahasiswa di salah satu kampus perguruan tinggi terbaik di negeri ini. Kemudian tidak jauh dari lokasi tersebut, di ruang-ruang kuliah, nada yang sama juga menggebu-gebu disuarakan oleh para dosen berusia setengah baya yang tidak mau dibantah. Lalu bergeser cukup jauh dari kampus tersebut, di sebuah sekolah elit yang juga konon terbaik, sejumlah siswa dan guru juga terjebak dalam irama diskusi yang sejenis.

Itulah potret suasana pembelajaran yang terjadi di ibukota, pusat segala pusat peradaban negeri ini, tak terkecuali pendidikan. Bagaimana dengan potret di daerah ?. Ketika tokoh-tokoh ibukota di atas berkunjung ke daerah dan ia bercerita dengan metode diskusi atau belajar yang ia lakukan di ibukota, sontak kepolosan dan keluguan anak-anak daerah itu pun terkagum-kagum mendengarkan penjelasannya. Jadilah metode diskusi atau belajar dengan cara tersebut menjadi tersohor dimana-mana tempat di negeri ini. Lebih lanjut, dalam perkembangannya kemudian orang-orang mampu berbicara “Menurut ahli A, B, C, dan bla bla..”, lalu dianggap keren dan pinter.

Sementara hampir semua orang setuju dengan definisi pinter dan keren di atas, di setiap jengkal vertikal maupun horizontal ruang negeri ini tersumpal jutaan masalah yang nyaris diterima dengan pasrah oleh manusia-manusianya. Seminar-seminar, forum-forum diskusi dengan tumpukan kertas-kertas makalah menggudang di institusi-institusi pendidikan di negeri ini. Ada yang bilang bahkan Indonesia adalah negara dengan jumlah seminar terbanyak di dunia. Sementara itu, jutaan masalah tadi masih menggenang di permukaan, dan bahkan sebagian tenggelam melekat di dasar keputus-asaan.

Apa yang salah dengan semua ini ?. Semakin banyak orang belajar, semakin banyak masalah yang muncul dan tak tertuntaskan. Kenapa kedua hal yang seharusnya berkorelasi positif ini, justru malah memunculkan dampak sebaliknya ?.

Kiblat Sains Kita (?)

Sebagian besar paradigma yang berkembang di Indonesia saat ini adalah menganggap bahwa seseorang dengan kemampuan retorika bagus dan dapat menjelaskan berbagai teori, adalah orang hebat. Padahal jika kita melihat ke peradaban yang lebih maju di sejumlah negara maju, orang dengan tipikal seperti di atas jika hanya sampai pada tahap itu, belumlah hebat.

Di Indonesia, orang-orang yang mengaku hebat dengan berbagai teori yang dihafalnya sesungguhnya agak konyol. Mengingat bahwa sebagian besar teori-teori ilmu pengetahuan yang berkembang di Indonesia adalah diserap dari negara-negara barat. Teori-teori tersebut tentu dibuat berdasarkan riset-riset yang dilakukan di sana menggunakan studi kasus yang terjadi di sana. Perbedaan karakteristik fisik maupun sosial di setiap-setiap wilayah tentu berpengaruh terhadap hasil riset yang dilakukan. Apalagi tingkat perbedaan karakteristik di negara-negara barat dengan timur cukup signifikan. Singkatnya, teori yang dihasilkan dari ilmuwan-ilmuwan di negara barat tidak semuanya relevan diterapkan di negara-negara timur, termasuk Indonesia.

Apa yang sedang terjadi di Indonesia dan banyak negara timur lainnya saat ini sesungguhnya adalah sesuatu yang ambigu. Di satu sisi para ilmuwan timur, tengah bergiat mempelajari berbagai ilmu pengetahuan yang mau tidak mau harus bersumber dari referensi barat, dikarenakan ilmu pengetahuan diklaim berkembang lebih dahulu di negara-negara barat. Sehingganya referensi terbanyak pun datang dari negara-negara barat.

Di lain sisi, ketika mempelajari tentu para ilmuwan timur ini dipengaruhi oleh apa yang ia baca. Dikarenakan tidak banyak bahan pembanding dan juga tersugesti oleh kemajuan peradaban barat, sehingganya gelar kebenaran pun jatuh pada referensi barat yang ia pelajari tersebut. Padahal terkadang ada beberapa studi kasus khusus di negaranya yang sebenarnya tidak bisa dipahami dengan teori barat yang ia pahami tersebut. Alhasil jadinya, ia malah memaksakan studi kasus di negaranya tersebut mengikut dengan teori barat yang ia yakini.

Seharusnya, yang dilakukan oleh ilmuwan timur tersebut adalah menguji teori tersebut dengan studi kasus di negaranya dengan daya analisis netral objektif. Sehingganya jika teori tersebut tidak relevan, ia mampu mencipta teori baru yang relevan dengan studi kasus di negaranya. Hal inilah yang bisa menjadi titik tolak kemajuan ilmu pengetahuan di negara-negara timur.

Memang ilmu pengetahuan lebih berkembang di barat terlebih dahulu, namun bukan berarti para ilmuwan timur turut mengikuti atau terhanyut dalam arus tersebut. Sangat sering para ilmuwan timur mengalami kesalahan dalam melakukan penyesuaian teori. Seperti contoh di atas, sering kali yang dipaksa menyesuaikan adalah kondisi di negaranya sehingga harus mengikut teori tersebut. Padahal yang harusnya disesuaikan adalah teori tersebut yang harus mengikut kondisi di negaranya.

Kondisi yang dimaksud disini tentu adalah hal yang positif yang bersifat sebagai karakter dari peradaban di negara tersebut. Salah seorang ilmuwan di Asia Timur dalam pernyataannya pernah berujar bahwa Asia sudah saatnya harus punya kiblat sains sendiri, tidak lagi berkiblat pada sains barat.

Pernyataan di atas seirama dengan seruan Bapak Republik Indonesia, Tan Malaka “Akuilah dengan hati bersih bahwa kalian bisa belajar dari orang barat. Tapi jangan sekali-kali kalian meniru mereka. Jadilah murid-murid dari timur yang cerdas”.

Analisa Komparatif

Dalam dasawarsa terakhir, banyak perubahan baru, atau bahkan hal baru terkait sistem pendidikan di Indonesia, terutama pasca Reformasi. Sudah banyak terjadi perubahan kurikulum pendidikan di berbagi tingkat, baik tingkat dasar hingga pendidikan tinggi.

Ada kurikulum tahun 1994, KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), serta untuk metode pembelajarannya, ada SCL (Student Center Learning), dan segera katanya akan ada STARS (Student, Teacher, Aestetic, Rulers Sharing). Semua punya tujuan sama: agar kualitas pendidikan di Indonesia meningkat, baik aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dari kurikulum tersebut diharapkan agar peserta ajar aktif dalam proses belajar, mencari tahu ilmu pengetahuan, dan pengajar sebagai pembimbing.

Masih jauh panggang dari api, untuk saat ini ungkapan tersebutlah yang mencerminkan kondisi harapan di atas. Sebagian besar pengajar masih mengajar dengan skema pengajar-oriented. Pengajar bicara panjang lebar, tapi peserta ajar cuma didiamkan saja, hanya disuruh mendengarkan, dan seringkali membuat  mereka mengantuk. Bahkan di perguruan tinggi terbaik di negeri ini pun, tidak sedikit dosen yang masih terjebak dalam zona nyaman metode tersebut.

Kondisi yang lebih parah adalah sebagian besar para pengajar di Indonesia melakukan discouragement, “menelan” peserta ajarnya dalam proses belajar. Studi kasus dalam sidang skripsi di perguruan tinggi, ketika seorang promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Banyak para dosen penguji yang sangat tidak manusiawi. Discoragement yang mereka lakukan membuat kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata akhirnya pun ditemukan juga menguji dengan cara menekan.

Sangat berbeda jika kita melihat ke Amerika Serikat (AS), filosofi mendidik di sana bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju, Encouragement!. Dalam ujian program doktor di AS, suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menerangkan seterang-terangnya sehingga mahasiswanya makin mengerti. Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan. Para pengajar disana tidak hanya pintar secara akademis, melainkan karakternya juga sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak.

Tidak jauh berbeda dengan di AS, sistem pengajaran di Belanda bersifat menghargai pendapat dan keyakinan individu merupakan landasan negaranya yang mampu memperkokoh akar masyarakat mereka, yang dikenal dengan keragaman dan masyarakat pluralistiknya. Ini juga merupakan landasan utama dari metode pengajaran yang diberlakukan di perguruan tinggi di Belanda.

Gaya pengajaran di Belanda sangat interaktif dan berpusat pada peserta belajar itu sendiri, memberikan perhatian dan kebebasan lebih bagi mahasiswa untuk mengembangkan pendapat dan kreativitas dalam menerapkan ilmu yang dipelajari. Interaksi di ruang kelas sangat dihargai. Mahasiswa dituntut untuk menelaah pengetahuan yang mereka terima dan mengembangkan serta mengekspresikan pendapat mereka. Mahasiswa tidak boleh pasif, namun harus terus bertanya dan berpikir kritis terhadap apa yang dikatakan pengajar atau sesama mahasiswa.

Hal yang lebih menarik lagi ditemukan di Finlandia yang kualitas pendidikannya menduduki peringkat pertama di dunia. Finlandia berhasil membuat semua siswanya cerdas. Kuncinya terletak pada kualitas guru. Di Finlandia hanya ada guru-guru dengan kualitas terbaik dengan pelatihan terbaik pula. Profesi guru sendiri adalah profesi yang sangat dihargai, meski gaji mereka tidaklah fantastis.

Jika negara-negara lain percaya bahwa ujian dan evaluasi bagi siswa merupakan bagian yang sangat penting bagi kualitas pendidikan, Finlandia justru percaya bahwa ujian dan testing itulah yang menghancurkan tujuan belajar siswa. Terlalu banyak testing membuat kita cenderung mengajarkan kepada siswa untuk semata lolos dari ujian. Siswa diajar untuk mengevaluasi dirinya sendiri, bahkan sejak Pra-TK.

Siswa didorong untuk bekerja secara independen dengan berusaha mencari sendiri informasi yang mereka butuhkan. Suasana sekolah sangat santai dan fleksibel. Adanya terlalu banyak komando hanya akan menghasilkan rasa tertekan, dan mengakibatkan suasana belajar menjadi tidak menyenangkan.

Pendidikan, Pembangunan, dan Perekonomian

Ada sebuah kesamaan karakter yang ditemukan pada gaya pendidikan di negara-negara barat. Perkembangan ilmu filsafat dan ilmu sosial yang sangat pesat membuat mereka begitu memahami filosofi pendidikan. Sehingganya dasar dari setiap sistem atau metode yang digunakan sangat berakar dari nilai-nilai universal yang konstruktif.

Lain halnya dengan dengan negara-negara di Asia Timur yang saat ini juga tengah mengalami kemajuan pesat. Jika di barat filsafat dan ilmu sosial begitu mengakar, di Jepang berfokus pembangunannya di bidang teknologi. Sehingga sistem pendidikannya pun mengikut kepada hal tersebut. Alhasil pendidikan di bidang sains terapan seperti teknologi sangat berkembang di negara ini.

Tidak mau kalah dengan Jepang sebagai negeri jirannya, Korea saat ini gencar menyebarkan korean wave-nya di berbagai penjuru dunia. Korean wave adalah sebuah image tersendiri yang dibuat oleh Korea melalui industri kreatifnya, seperti musik dan film. Berkembang pesatnya korean wave ini pun memicu pendidikan-pendidikan di bidang ini menjadi melesat menjamur.

Belajar dari sistem pendidikan di berbagai negara di belahan dunia, tampak sebuah benang merah antara pendidikan, pembangunan, dan perekonomian. Di negara-negara barat yang telah berstatus negara maju, hampir seluruh bidang ilmu berkembang dengan baik dikarenakan sistem pendidikan yang juga baik. Hal ini akhirnya berbanding lurus dengan tingkat pembangunan dan perekonomiannya. Hal yang sama pun terjadi di Jepang dan Korea yang memiliki fokus masing-masing. Pembangunan perekonomian yang terjadi berbasis kepada ilmu pengetahuan yang telah berkembang dikarenakan sistem pendidikan yang berkualitas.

Kemajuan yang dicapai oleh negara-negara di atas diraih akibat adanya kesadaran mereka akan pentingnya sumbangsih pengetahuan terhadap pembangunan perekonomian. Antara arah pembangunan, pendidikan, dan perekonomian, satu sama lainnya berkorelasi. Dimulai dengan penentuan arah pembangunan negara, kemudian diturunkan menjadi langkah-langkah mencapainya melalui bidang perekonomian, dan selanjutnya sistem pendidikan dirancang untuk melancarkan strategi mencapai arah tersebut.

Lalu selanjutnya,bagaimana kondisi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia ?. Pembangunan perekonomian yang terjadi di negara berkembang termasuk Indonesia masih berbasis kepada resource atau sumber daya alam dan kuantitas sumber daya manusia. Tingkat pengetahuan rata-rata yang masih rendah menyebabkan sumber daya yang ada belum mampu dikembangkan secara optimal menjadi nilai ekonomi yang maksimal.

Basis sumber daya, inilah yang harus ditransformasikan oleh negara-negara berkembang menjadi basis ilmu pengetahuan untuk dapat mendongkrak pembangunan perekonomian. Untuk dapat melakukan transformasi ini tentu adalah sebuah proses komprehensif, kuncinya ada di sistem pendidikan.

Pendidikan Karakter : Problem Based Learning

Salah satu metode belajar yang banyak dikembangkan di negara-negara maju saat ini adalah metode Problem Based Learning (PBL). Metode ini saat ini juga tengah giat dikembangkan di Indonesia. Metode ini menekankan nilai-nilai ide, kebebasan berpikir, inovasi, dan problem solving

Ada beberapa definisi dan intepretasi terhadap PBL. Duch (1995) menyatakan bahwa PBL adalah metode pendidikan yang medorong siswa untuk mengenal cara belajar dan bekerjasama dalam kelompok untuk mencari penyelesaian masalah-masalah di dunia nyata. Simulasi masalah digunakan untuk mengaktifkan keingintahuan siswa sebelum mulai mempelajari suatu subyek. PBL menyiapkan siswa untuk berpikir secara kritis dan analitis, serta mampu untuk mendapatkan dan menggunakan secara tepat sumber-sumber pembelajaran.

Menurut Nurhadi (2004: 100) “pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) adalah suatu model pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran”. Pengertian pembelajaran berbasis masalah adalah proses kegiatan pembelajaran dengan cara menggunakan atau memunculkan masalah dunia nyata sebagai bahan pemikiran bagi siswa dalam memecahkan masalah untuk memperoleh pengetahuan dari suatu materi pelajaran.

PBL pertama kali diperkenalkan oleh Faculty of Health Sciences of McMaster University di Kanada pada tahun 1966. Yang menjadi ciri khas dari pelaksanaan PBL di mcmaster adalah filosofi pendidikan yang berorientasi pada masyarakat, terfokus pada manusia, melalui pendekatan antar cabang ilmu pengetahuan dan belajar berdasar masalah.

Kemudian pada tahun 1976, Maastricht Faculty of Medicine di Belanda menyusul sebagai institusi pendidikan kedokteran kedua yang mengadopsi PBL. Kekhasan pelaksanaan PBL di Maastrich terletak pada konsep tes kemajuan (progress test) dan pengenalan keterampilan medik sejak awal dimulainya program pendidikan. Dalam perkembangannya, PBL telah diadopsi baik secara keseluruhan atau sebagian oleh banyak fakultas kedokteran di dunia.

Dalam pendidikan konvensional, mahasiswa lebih banyak menerima pengetahuan dari perkuliahan dan literatur yang diberikan oleh dosen. Mereka diharuskan mempelajari beragam cabang ilmu kedokteran dan menghapal begitu banyak informasi. Setelah lulus dan menjadi profesional, mereka dihadapkan pada banyak masalah yang tidak dapat diselesaikan hanya dari pengetahuan yang mereka dapat selama kuliah. Sistem pendidikan konvensional cenderung membentuk mahasiswa sebagai pembelajar pasif. Mahasiswa tidak dibiasakan berpikir kritis dalam mengidentifikasi masalah, serta aktif dalam mencari cara penyelesainnya.

Dalam PBL, siswa dituntut bertanggungjawab atas pendidikan yang mereka jalani, serta diarahkan untuk tidak terlalu tergantung pada guru. PBL membentuk siswa mandiri yang dapat melanjutkan proses belajar pada kehidupan dan karir yang akan mereka jalani. Seorang guru lebih berperan sebagai fasilitator atau tutor yang memandu siswa menjalani proses pendidikan. Ketika siswa menjadi lebih cakap dalam menjalani proses belajar PBL, tutor akan berkurang keaktifannya.

Proses belajar PBL dibentuk dari ketidakteraturan dan kompleksnya masalah yang ada di dunia nyata. Hal tersebut digunakan sebagai pendorong bagi siswa untuk belajar mengintegrasikan dan mengorganisasi informasi yang didapat, sehingga nantinya dapat selalu diingat dan diaplikasikan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang akan dihadapi. Masalah-masalah yang didesain dalam PBL memberi tantangan pada siswa untuk lebih mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan mampu menyelesaikan masalah secara efektif.

Siswa dihadapkan pada masalah dan mencoba untuk menyelesaikan dengan bekal pengetahuan yang mereka miliki. Pertama-tama mereka mengidentifikasi apa yang harus dipelajari untuk memahami lebih baik permasalahan dan bagaimana cara memecahkannya.
Langkah selanjutnya, siswa mulai mencari informasi dari berbagai sumber seperti buku, jurnal, laporan, informasi online atau bertanya pada pakar yang sesuai dengan bidangnya. Melalui cara ini, belajar dipersonalisasi sesuai dengan kebutuhan dan gaya tiap individu.
Setelah mendapatkan informasi, mereka kembali pada masalah dan mengaplikasikan apa yang telah mereka pelajari untuk lebih memahami dan menyelesaikannya.
Di akhir proses, siswa melakukan penilaian terhadap dirinya dan memberi kritik mambangun bagi kolega.

Salah satu negara yang telah menerima pengakuan internasional untuk sistem pembelajaran berdasarkan pemecahan masalah (Problem Based Learning) adalah Belanda. Negara ini melatih mahasiswa untuk menganalisa dan memecahkan permasalahan dengan menggunakan penekanan pada pembelajaran mandiri dan disiplin. Semua program pendidikan tinggi Belanda berfokus pada karya tulis, bekerja sama kelompok untuk menganalisa dan menyelesaikan permasalahan spesifik, memberikan kesempatan kerja praktek melalui kerja magang dan melakukan penelitian di laboratorium.

Pada akhirnya PBL bisa  menjadi salah satu aplikasi dari pendidikan karakter. Karakter solutif, itulah yang ditanamkan dalam PBL.

Saatnya Bicara Solusi!

Metode PBL inilah yang harus dikembangkan secara intensif dan menyeluruh di Indonesia. Kurangi kajian teoritis yang tidak pernah menggunakan studi kasus. Perhatikan relevansi teori. Mari ubah pola pikir klasik yang menganggap bahwa orang hebat adalah yang hafal dan tahu banyak teori. Orang hebat adalah orang yang mampu mentransformasikan segala ilmu atau teori yang ia punya menjadi sebuah jalan keluar atau solusi dari permasalahan kekinian.

Saat ini juga tengah gencar digalakkan pendidikan karakter di Indonesia. Namun belum ada sebuah panduan yang jelas untuk konsep ini. PBL bisa hadir sebagai jawabannya. Karakter yang harus dibangun seharusnya adalah karakter solutif. Ini sesuai dengan nilai-nilai di PBL. Indonesia telah muak dengan media-media yan setiap hari menyebarkan jutaan berita-berita masalah di negeri ini yang menumbuhkan pesimisme. Saatnya melahirkan optimisme dengan menghadirkan solusi-solusi konkrit atas berbagai permasalahan tersebut. PBL mampu mendukung proses ini.

Selanjutnya, dalam jangka panjang PBL sangat efektif dalam pengembangan keilmuan. Melalui PBL dapat diuji teori-teori lama yang terkadang sudah tidak relevan dengan kondisi kekinian zaman atau pun tidak relevan dengan kondisi wilayah tertentu. Sehingganya dapat dilahirkan teori-teori baru yang sesuai dengan perkembangan zaman dan kondisi wilayah tertentu tersebut. Ini terkait dengan kiblat sains yang diungkapkan di atas, melalui PBL kita bisa mencipta kiblat sains kita sendiri, menjadi superior, bukan terus meng-inferior.

Metode PBL ini bisa diterapkan di semua jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan dasar, menengah, hingga tinggi. Untuk menerapkan hal ini tentu para generasi pengajar tua juga mesti mempelajari metode ini dan terus belajar mengikuti perkembangan ilmu pengetahuannya. Karena sering kali perubahan sistem di Indonesia terhambat gara-gara generasi tua yang masih ortodoks. Bertahan pada prinsip-prinsip lama yang mereka anut dan konservatif terhadap gagasan baru.

Jangan sampai kita harus memilih opsi ‘Potong Generasi’ untuk permasalahan ini. Marilah kepada siapapun yang peduli terhadap masa depan  negeri ini dan menginginkan perbaikan peradaban, tua muda kaya miskin, saatnya bicara solusi terhadap segala permasalahan yang ada. Jangan cuma dan terus mengeluh sehingga akhirnya pasrah terhadap keadaan. Semua punya solusi, semua punya jawaban. Melalui metode PBL, akan lahir generasi problem solver di negeri ini untuk menghentikan para problem maker.

Memang untuk solusi atas sistem pendidikan di Indonesia adalah hal yang kompleks. Karena menyangkut berbagai hal. Dibutuhkan perbaikan yang menyeluruh, mulai dari sistem yang rumit, kurikulum, tenaga pengajar, fasilitas, dan lain lain. Namun setidaknya untuk saat ini, jika PBL mampu diterapkan secara maksimal di semua institusi pendidikan, maka kita akan menyaksikan optimisme semua anak neger i ini bersorak ”saatnya bicara solusi!”.



Pustaka

Boud, D & Feletti, Grahamme I. 1997. The Challenge of Problem Based Learning (2nd Edition). London : Designs and Potents Act.

Chanlin, Lih Juan & Kung Chi Chan. 2007. Integrating Inter-Disciplinary Experts For Supporting Problem-Based Learning. London. 44(2) pg 211

Ho, Fui Fong & Hong Kwen Boo. 2007. Cooperative Learning: Exploring Its Effectiveness In The Physic Classroom. Asia-Pasific Forum on Science Learning and Teaching. 8(2)(7) p 1

Duch, Barbara J & Grob, Susan E, & Allen, Deborah E. 2001. The Power  Of Problem based Learning. Virginia USA : Stylus Publishing.

http://mm.fe.ui.ac.id/index.php/berita/261-encouragement-prof-rhenald-kasali-phd

http://forum.orisinil.com/index.php?topic=3964.0

http://inspirasibelajar.wordpress.com/2011/02/27/kurikulum-dan-metode-pembelajaran-pendidikan-di-indonesia/

http://unisys.uii.ac.id/index.asp?u=710&b=I&v=1&j=I&id=8

http://www.nesoindonesia.or.id/indonesian-students/informasi-dalam-bahasa/sistem-pendidikan-belanda/sistem-pengajaran-di-belanda


Esai ini meraih Juara 1 dalam Kompetisi Esai KSM EP UI 2012 dan dibukukan dalam Buku "Solusi Dunia Pendidikan Indonesia"



No comments:

Post a Comment