Thursday, October 17, 2013

Seragam

http://plymouthuccyouth.files.wordpress.com/2010/06/img_0069.jpg

‘Jadikanlah semua tempat sebagai sekolah, dan semua orang adalah guru’

Kutipan ini disampaikan di sebuah pembukaan pelatihan bagi para peserta pertukaran pemuda Indonesia ke negara maju. Secara ‘nilai’, makna dari kutipan tersebut nyaris sempurna dan membuat kepala para peserta mengangguk-angguk tanda setuju. Mereka pun bergairah memulai pelatihan yang muatannya akan menjadi bekal bagi mereka nanti untuk hidup di negara maju tersebut.

Pelatihan dimulai, sejumlah aturan dikemukakan, disebutkan oleh satu wajah. Lalu di hari berikutnya, wajah lain muncul tanpa perkenalan dan membuat aturan baru. Kemudian, beberapa saat kemudian, wajah baru lagi hadir dengan aturan baru LAGI dan bahkan gerak-geriknya tampak seperti sangat bertentangan dengan aturan yang dibuatnya sendiri. Miris, semua wajah itu adalah alumni dari program pertukaran pemuda tersebut.


Semua kemasan luar peserta, mulai dari pakaian, bagian tubuh yang tampak, nyanyian, cara duduk, hingga pola berjalan sampai berbaris ; semua disamakan, diatur, dan tidak boleh ada yang berbeda sedikitpun. Itu adalah salah satu aturan dalam pelatihan ini. Alasannya konon adalah itu merupakan bagian dari sikap seorang diplomat (?) dan pemuda-pemuda ini dirancang jadi diplomat muda.

Dalam pelatihan ini, konon dalam rangka mencambuk kesadaran para peserta akan urgensi setiap materi, peserta diberikan tekanan demi tekanan berupa ; teriakan, hardikan, ancaman, dan berbagai jenis perilaku menekan lainnya. Diharapkan dari aneka tekanan tersebut, peserta merasa dirinya bukan apa-apa dan mengikuti semua instruksi yang diberikan fasilitator pelatihan.

Materi yang diberikan dalam pelatihan ini sangat beragam-macam. Mulai dari pengetahuan seputar Indonesia, life skill, hingga hard skill berupa kesenian asli Indonesia. Pelatihan berlangsung sekitar delapan hari, mulai dari setengah enam pagi hingga pukul dua belas malam. Peserta diberi waktu istirahat sekitar 4-5 jam dengan alasan ; ini sudah lebih baik dibanding pelatihan lalu yang tidurnya hanya 2-3 jam.

Berbagai metode dalam pelatihan di atas, konon disebut dengan metode pengosongan sehingga kemudian si peserta semua merasa ‘sama’ dan ‘seragam’, lalu siap untuk di-‘isi’. Namun banyak peserta merasa tidak nyaman dengan metode ini.

Memang semua tempat bisa menjadi sekolah dan semua orang bisa menjadi guru bagi si pembelajar. Namun hal ini akan ideal jika berlangsung tidak hanya dari kesadaran satu arah. Mestinya kesadaran berbenah tumbuh dari kedua arah. Sekolah harus terus meningkatkan kualitas metode pembelajarannya dan guru juga mesti terus meningkatkan kapasitas dirinya hingga mampu menjadi teladan.

Berikut ialah beberapa tips bagi ‘sekolah’ dan ‘guru’ tersebut. Sekolah yang baik mesti memiliki kejelasan aturan yang tertulis dan konsisten. Ada koordinasi antara berbagai elemen dalam sekolah sehingga ia mampu memahami dengan baik aturan yang tertulis tersebut. Ada keseragaman dalam koordinasi. Terhadap aturan yang ada pun, ini juga mesti berlaku bagi semua elemen ; tidak hanya bagi si pembelajar, guru juga mesti memberi teladan dalam menghormati aturan. Adapun fleksibilitas aturan, hal ini mesti dicapai dari kesepakatan bersama.

Lalu, tentang penyeragaman behaviour. Ketika semua hal terkait ini diatur, maka akan berpotensi besar mematikan kreatifitas dan nalar kritis si pembelajar. Karena kondisi terbaik untuk mengembangkan kecerdasan ialah kebebasan, dimulai dari kebebasan berpikir. Kebebasan inilah yang mestinya dibina dan dikembangkan sesuai minat dan bakat masing-masing. Akhirnya akan melahirkan aneka inovasi kreasi.

Berikutnya, tekanan demi tekanan yang hadir dalam (cara) bahasa negatif hanya akan membangun kesadaran yang kurang sehat. Hal ini membuat si pembelajar cenderung akan bekerja hanya jika ada tekanan sejenis. Kesadaran sesungguhnya tidak berhasil lahir dari cara tekanan negatif tersebut. Bukan tekanan yang mestinya diberikan, melainkan dorongan ; inilah yang mereka butuhkan. Education is encourage, not discourage.

Kemudian, perihal konten materi pelatihan yang sangat beragam-macam alias padat. Sekolah mesti lebih meng-efektifkan lagi kurikulum materi yang diberikan. Keluarlah dari zona nyaman kurikulum lama dan mulai eksplorasi inovasi kurikulum baru yang lebih relevan dan tentu sesuai kebutuhan si pembelajar dan visi dari sekolah tersebut.

Metode pengosongan, yang diterapkan dalam pelatihan di atas, tidak lagi relevan hari ini. Ini adalah seragam lama yang mesti diperbaharui. Zona nyaman sistem lama bau orde baru (semi milliter) mesti diletakkan pada tempatnya. Mental yang masih mementingkan kemasan luar dan melupakan subtansi inti ‘nilai’ di dalam, juga mesti perlahan ditinggalkan.

Program pertukaran pemuda bukan pengiriman angkatan bersenjata ke medan perang fisik, dimana setiap prajurit harus seragam dan patuh atas semua instruksi dalam satu komando. Namun program ini adalah tentang berbagi gagasan. Bertujuan memberikan mutual understanding tentang budaya dalam makna yang luas bagi para pesertanya, dan diharapkan ada perbaikan pola pikir yang terjadi usai program ; sasaran utamanya adalah kecerdasan ; intelektual, spiritual, hingga emosional. Sehingga dibutuhkan sebuah metode baru.

Pelatihan pun usai dan para peserta berangkat ke negara maju. Sesampai disana, mereka kembali dihadapkan pada sejenis pelatihan, penyelenggaranya menyebut dengan ‘orientasi’. Dalam bayangan sejumlah peserta mereka akan bertemu lagi dengan pelatihan sejenis seperti di Indonesia, namun ternyata berbeda.

Metode orientasi di negara maju tersebut memberikan ruang bagi tiap peserta untuk menantang diri mereka sendiri untuk keluar dari zona nyaman mereka. Pendekatan yang digunakan adalah participant centered. Menghormati setiap substansi pilihan individu dan banyak kesempatan berharga untuk belajar dalam tim serta saling mendukung satu sama lain.

Para peserta tampak sangat menikmati orientasi tersebut dan merasa pas dengan metode tersebut. Inilah sepertinya seragam baru yang dicari ; ‘challenge-by-choice’.

‘Sekolah’ dan ‘guru’ di atas layak mencoba seragam baru ini.

Tulisan ini dimuat di Sumbar Online, 19 Oktober 2013 dan Portal Kemenpora RI

No comments:

Post a Comment