Thursday, October 31, 2013

Arti


Menghafal, menjadi sebuah kebiasaan yang bisa jadi membosankan atau mungkin juga menarik bagi banyak orang. Namun bagi sebagian usia muda Indonesia, ini hampir menjadi kewajiban ; jika ingin meraih nilai memuaskan di lembaran kertas bertajuk ‘raport’.

Di setiap malam-malam menjelang ulangan harian dan ujian bagi mereka akan menjadi malam yang sibuk. Menghafal berbagai jenis materi pelajaran yang tercantum di ragam buku teks. Banyak sekali teori-teori, hingga definisi-definisi tentang berbagai pengertian dari sejumlah ahli (yang bahkan mungkin tak pernah dikenal ke-ahli-an-nya).


Dalam mengawali setiap bab materi di tiap mata pelajaran, akan sering kali diawali dengan mengenali ‘definisi’ dari berbagai hal pokok atau kata kunci penting dalam materi tersebut. Dalam banyak pola soal dalam ujian, ini biasanya selalu keluar ; definisi menurut para ahli. Inilah yang menjadi hafalan wajib.

Pola di atas kemudian berlanjut sekitar dua belas tahun belajar. Tak heran ini menular lalu ke dunia pendidikan tinggi. Bukan hanya di keseharian perkuliahan hingga ujian, untuk sidang tugas akhirpun, banyak mahasiswa yang kita temukan melakukan hal yang sama layaknya para pelajar di atas.

Ketika usai studi dengan aneka gelar yang dengan bangga dipasang di belakang nama, banyak kemudian yang gagal mempertanggung-jawabkan gelarnya. Banyak materi yang dipelajari belasan tahun kemudian lupa seketika, kagok ketika kembali ditanya berbagai hal mendasar (ragam definisi) terkait studinya. Karena terbiasa dipaksa menghafal, maka ketika disuruh untuk mengurai kembali apa yang telah dihafal, hal ini pun menjadi sulit ; harus dipaksa mengingat-ingat kembali.

Apalagi bagi para penganut sistem kebut semalam, hal di atas akan menjadi bencana besar.
Tak hanya sampai disitu, kebiasaan menghafal ragam definisi tentang hal mendasar dalam studi ini berdampak luas kemudian pada kualitas manusia Indonesia. Jauh sebelum Indonesia merdeka, Tan Malaka sudah mengingatkan kita, ia berujar “bahwa kebiasaan menghafal itu tidak menambah kecerdasan, malah menjadikan saya bodoh, mekanis, seperti mesin”.

Tuntutan kebiasaan menghafal adalah salah satu bentuk penyeragaman, membatasi lahan kreatifitas. Hal ini tidak memberi ruang untuk berpikir secara bebas, menyempitkan atau bisa jadi mematikan nalar kritis seorang pelajar. Nalar kritis dibutuhkan untuk terus mengembangkan ilmu pengetahuan ditengah era informasi tanpa batas seperti sekarang, transformasi terjadi begitu cepat dalam ruang maupun waktu.

Berikutnya, banyak definisi-definisi dalam ilmu pengetahuan di negara berkembang yang mentah-mentah dicaplok dari negara maju. Hal ini seperti pencangkokan bulat-bulat atau secara utuh dari sebuah tanaman, dimana kemudian yang akan tumbuh adalah bisa jadi tanaman yang sama atau bisa juga tanaman tersebut akan mati jadinya. Kenapa mati?, karena kadang jenis tanah, pupuk, dan cuacanya berbeda.
Itulah analogi dari ragam jenis perbedaan yang ada antara berbagai tempat, berdampak juga pada perbedaan pemahamannya terhadap penciptaan sebuah ilmu pengetahuan.

Ragam definisi dari negara maju tersebut, kemudian dijadikan konsumsi ilmu yang dipatenkan dalam ajar-mengajar hingga soal ujian di sekolah-sekolah di negara berkembang. Definisi itupun lalu membatu dan membeku dalam otak pelajarnya. Sekalipun kadang definisi itu tidak relevan lagi dan kadang juga sama sekali tidak cocok dengan kondisi di negara terkait. Faktor-faktor mulai dari budaya, kondisi alam, dan lain lain ialah penyebab irelevansi tersebut.

Induktif

Sekarang kita coba pelan-pelan rapikan kekusutan ini. Mulai dari mencoba untuk belajar dengan meneguhkan pemahaman di awal tentang definisi dari hal-hal yang substansial dalam sebuah ilmu. Perlakukan hal tersebut sebagai sesuatu yang hidup, dinamis, terus tumbuh dan berkembang. Sebuah teori, atau bagian apapun dalam ilmu pengetahuan ; perlakukan mereka seolah mereka selalu ingin keluar dari zona nyamannya.

Bagaimana langkah konkrit memperlakukannya?. Ada sebuah metode menarik di negara maju dalam belajar memahami sebuah definisi mendasar dalam sebuah topik. Mereka mencoba terlebih dahulu mengumpulkan opini dari berbagai pendapat, kemudian dicoba untuk disatukan, dilebur. Induktif, dari khusus ke umum. Hal ni memungkinkan sebanyak mungkin ragam pemikiran baru yang relevan untuk terus memperbaharui sehingga memperkaya pengembangan ilmu pengetahuan.

Cara ini menarik untuk diuji coba dalam metode pembelajaran di negara berkembang. Seorang ilmuwan oriental menyatakan “Asia butuh kiblat ilmu sendiri”. Perbedaan yang cukup kental antar peradaban dan kondisi geografi dunia timur dan barat membuat sejumlah ilmu pengetahuan yang diciptakan barat terkadang kurang relevan untuk dipahami apalagi diterapkan di timur.

Metode induktif di atas mungkin membutuhkan waktu yang relatif lebih lama bagi pembelajaran di kelas-kelas. Namun ini akan mampu melahirkan definisi-definisi baru yang lebih relevan dan sesuai. Ini juga bisa mendorong pemadatan kurikulum, mengurangi beban belajar yang terlalu luas, dan membuat para pelajar menjadi lebih fokus serta menikmati proses belajarnya.

Mencoba metode di atas tidak harus menunggu hingga sistem kurikulum diubah atau segala kait mengait birokrasi tuntas. Untuk gebrakan-gebrakan yang menghentak, kadang kita butuh sedikit pengabaian atas prosedural, banyak jalan mencobanya ; sela-sela dalam pendidikan formal hingga aneka pendidikan informal. Yang paling penting kita paham substansinya ; bahwa ini bukan untuk sekedar memberi tender bagi rekan penguasa sehingga terjadi penggantian buku teks baru, namun ini demi sebuah ‘arti’.

Manusia yang lebih berperadaban.

Pada akhirnya ilmu pengetahuan yang dipelajari tersebut benar-benar memiliki arti, tidak sekedar hafalan kosong untuk ulangan harian atau ujian tugas akhir.

Jangan sampai gagal memahami sebuah definisi, karena bisa jadi itu adalah akarnya.


No comments:

Post a Comment