Sunday, October 13, 2013

Penonton yang Menang

http://statik.tempo.co/data/2013/09/22/id_222067/222067_620.jpg

Bola itu pun terhenti, di tengah genangan atau mungkin lebih bisa disebut kubangan air di pinggir lapangan. Hujan berhari-hari membuat lapangan tua itu hampir menyerupai kolam ikan, rupa-nya lebih didominasi c-air-an dibanding re-rumput sakit yang kedinginan.

Para pemain timnas mulai tampak kelelahan, nafasnya tersengal, darah di otak pun sepertinya tak mengalir normal lagi ; mereka mulai kehabisan akal. Sementara papan skor menunjukkan mereka masih tertinggal, tekanan mendera.


Sebelumnya, berbagai atraksi fenomenal terjadi di lapangan ini. Sejumlah pemain hebat timnas dengan skill individu yang luar biasa menggiring bola dengan brilian melewati sejumlah pemain lawan sendirian. Sendirian, mereka bermain sendiri, kurang bekerjasama satu sama lain. Sebagian besar mereka masing-masing bergantian mencoba membawa dan melesakkan bola sendiri ke gawang lawan untuk mencetak gol. Tapi sayang, tak satu pun gol mereka ciptakan dan timnas pun di gerbang kekalahan.

Dalam pertandingan kali ini, wasit menggunakan cara berbeda, ia menutup papan waktu sehingga tak seorang pun tahu kapan waktu permainan akan berakhir. Setiap wajah yang mendukung timnas pun terlihat cemas, gundah, dan bahkan ada yang sudah pasrah dan memilih pulang ; merasa tiada harapan untuk menang.

Dan kita, sekarang ada di salah satu pinggir tribun penonton mencoba untuk me-lobi wasit untuk menghentikan waktu agar kita bisa menyelamatkan timnas dari kekalahan. Wasit menimbang-nimbang dan akhirnya..menerima permohonan kita.

Saatnya kita meng-analisis, kenapa timnas kalah?. Diawali dari susahnya antar para pemain bekerja sama satu sama lain, sehingga kekuatan mereka pun tidak terpadu. Kemudian, fungsi kapten dalam tim pun tidak berjalan dengan baik. Kapten kurang didengar, selain karena ia kurang bijak juga karena para individu bermain sendiri untuk memperlihatkan pada penonton bahwa ia layak jadi kapten.

Lalu, kenapa individu pemain cenderung bermain sendiri?. Apakah latar belakang mereka memberikan pengaruh?. Para pemain ini berasal dari ragam daerah, sebagian memiliki klub dan sebagian lagi tidak. Hal ini tentu memberi pengaruh, bagi mereka yang dibina dengan baik di klub mestinya memahami konsep bekerja dalam tim ; teamwork. Namun jika kita telisik lagi, sepertinya mereka kurang dibina dengan baik di klub atau bisa juga klub tersebut tidak memiliki sistem pembinaan yang baik.

Jika kondisi di klub seperti itu, maka apalagi yang tidak punya klub?. Memang ini juga belum jaminan bahwa mereka yang tanpa klub akan lebih buruk, namun setidaknya mereka mungkin kurang pengetahuan mengenai sedikit ilmu yang ada diajarkan dalam sebuah klub.

Berikutnya, sebagian mereka yang bergabung dengan timnas memiliki niat yang kurang tepat dalam bergabung. Yaitu untuk menjadi kapten di timnas. Mestinya niat mereka adalah ingin membawa timnas untuk menang dalam pertandingan. Lalu kenapa niat mereka melenceng?.

Lagi-lagi, faktor klub disini menjadi salah satu faktor.

Delegitimasi Parpol

Bola adalah kebijakan, lapangan adalah sistem birokrasi, dan kubangan adalah kekacauan sistem. Hujan adalah bencana dan ragam permasalahan, yang bisa menjadi perusak atau bisa juga menjadi berkah ; menjadi pelajaran jika bijak mengambil hikmah.

Timnas bisa jadi sebuah negara, provinsi, ataupun kota. Para pemain di dalamnya tentu ialah para pemangku kebijakan, yang tertinggi tentu adalah kepala-nya ; seorang kapten. Lalu kekalahan adalah ketertinggalan dan keterbelakangan. Wasit adalah Tuhan dan klub merupakan partai politik.

Penggalan di atas bukan tentang Indonesia U-19 yang baru saja juara Piala AFF, tapi tentang sebuah analogi dari fenomena politik yang terjadi di Indonesia hari ini. Para pemain yang bermain individual adalah cerminan banyak tokoh atau mereka yang (merasa) berkapasitas, lebih memilih untuk bekerja sendiri-sendiri dibanding saling bekerja sama satu sama lain. Hal ini dibuktikan beberapa fakta baru-baru ini. Pertama, Konvensi calon presiden dari Partai Demokrat yang diikuti oleh sebelas orang yang merasa layak jadi presiden.

Berikutnya, adalah empat pilkada di Tahun 2013 ini yang tercatat sebagai pilkada paling ‘ramai’. Ter-ramai adalah Kabupaten Mimika, Papua, sebelas pasang calon. Lalu sisanya masing-masing sepuluh pasang calon, adalah Pilkada Padang, Makassar, dan Garut. 

Lebih menarik lagi, dalam pilkada yang ‘ramai’ ini menguap banyak pasangan calon independen atau jalur perseorangan. Mimika dengan jumlah 5 pasangan, Padang 6 pasangan, dan Makassar serta Garut masing-masing 4 pasangan. Dalam penggalan di atas hal ini digambarkan dari asal sejumlah pemain timnas yang tidak memiliki klub.

Lalu bagi mereka yang memiliki klub digambarkan bahwa klub tersebut kurang membina dengan baik. Hal ini menjelaskan tentang buruknya sistem dalam sejumlah parpol. Terjadinya presidensialisasi partai dimana kebijakan partai hanya bergantung pada satu figur. Jika ditarik akar penyebabnya, maka ialah karena kurangnya proses institusionalisasi yang terjadi pada partai-partai tersebut. Inilah alasan akhirnya muncul banyak calon independen.

Delegitimasi parpol, inilah yang kembali terjadi hari ini. Sejarah menunjukkan, hal ini yang terjadi pada dua era sebelumnya telah menjebloskan Indonesia ke sistem pemerintahan otoriter. Gerakan ini akan memundurkan kembali arah demokratisasi. Apa yang terjadi ini bukan saja dapat memperpanjang masa transisi dari sistem otoriter ke demokrasi, tetapi justru mempersulit pencapaian konsolidasi demokrasi, apalagi menuju ke demokrasi yang matang.

Pesta demokrasi di 2014 sudah di depan mata. Delegitimasi parpol mengajarkan masyarakat untuk semakin apolitis. Kita butuh berbenah..

Wasit pun kembali menjalankan waktu. Kita yang di pinggiran tribun terus mencoba membantu mereka dengan teriakan-teriakan yang mungkin terdengar membisik bagi mereka.

Meski begitu, kita senantiasa berteriak menyemangati. Kita bukanlah kelompok yang cemas, gundah dan hanya bisa diam, apalagi yang pasrah dan memilih pulang. Kita bertahan disini, mengharapkan sebuah permainan cantik yang membahagiakan, tak peduli meskipun diakhir nanti timnas tetap kalah ; kita selalu berdoa dan tetap menjadi penonton yang menang.

No comments:

Post a Comment