Sunday, December 25, 2011

Menanti Reversed Brain Drain di Indonesia



Hasil Sensus Penduduk (SP ) 2010 menunjukkan bahwa pembangunan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia masih belum optimal.

Persentase penduduk 7-15 tahun yang belum atau tidak sekolah sebesar 2,51 persen dan yang tidak sekolah lagi sebesar 6,04 persen. Lalu persentase penduduk 5 tahun ke atas berpendidikan minimal tamat SMP/Sederajat sebesar 40,93 persen. Kemudian Angka Melek Huruf (AMH) penduduk berusia 15 tahun ke atas sebesar 92,37 persen. Ini berarti setiap 100 penduduk usia 15 tahun ke atas ada 8 orang yang buta huruf.

Variabel pendidikan yang ditamatkan dan AMH merupakan indikator untuk melihat kualitas SDM berdasarkan pendidikan. Data dari variabel di atas menunjukkan kualitas SDM Indonesia masih rendah.

Data-data di atas tentunya sangat ironis, mengingat Indonesia sebenarnya telah memastikan adanya jaminan pemenuhan hak dasar (basic right) atas pendidikan bagi warga negaranya. Jaminan itu secara tegas tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada BAB XA mengenai Hak Asasi Manusia khususnya Pasal 28C, dan Pasal 31 BAB XIII mengenai Pendidikan dan Kebudayaan.

Adapun Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, serta ayat (2)-nya mengatakan, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.  Demikian juga dengan cita-cita luhur bangsa yang dituangkan ke dalam rumusan mukadimah UUD 1945 sebagai salah satu tujuan didirikannya NKRI yaitu untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Pemerintah ternyata belum mampu memenuhi amanah konstitusi. Hal ini pun diperparah dengan adanya fenomena brain drain di Indonesia. Fenomena migrasinya para tenaga terdidik dan terlatih atau tenaga ahli.

Menurut Konferensi OECD-CEPII di Paris tahun 2008 angka brain drain Indonesia mencapai 5%. Meskipun ini masih tergolong level rendah dalam klasifikasi menurut Docquier and Marfouk, namun untuk jumlah 237 juta jiwa penduduk Indonesia angka ini menjadi sangat besar.

Masa depan SDM di Indonesia pun semakin suram. Tenaga ahli Indonesia kini sebagian besar berada di luar negeri. Maka pertanyaannya adalah “Haruskah para tenaga ahli tersebut kita minta untuk segera kembali ke tanah air guna mengatasi berbagai permasalahan di atas?”. Fenomena ini disebut dengan reversed brain drain.

Kedilematisan selalu menyelimuti para tenaga ahli Indonesia di luar negeri. Beberapa kondisi di dalam negeri menjadi alasan bagi mereka untuk tetap menetap di luar negeri. Ketiadaan fasilitas dan dana untuk riset; kurangnya jaminan sosial ; kurangnya prospek berkarir; konsep senioritas yang kaku, lemahnya institusi, panjangnya birokrasi; hingga pendiskreditan pendapatan dan fasilitas antara tenaga ahli asing dengan Indonesia walaupun keahliannya sama.

Ketika pola pikir di atas masih tertanam pada tenaga ahli Indonesia di luar negeri, maka reversed brain drain tidak akan pernah terjadi. Saatnya mengubah pola pikir bagi para tenaga ahli Indonesia di luar negeri tersebut. Mari jadikan berbagai alasan tersebut sebagai dorongan untuk pulang dan membenahi Indonesia. Memang harus bersakit-bersakit dahulu sebelum bersenang-senang kemudian. Mari rela berkorban demi kebangkitan peradaban bangsa.

No comments:

Post a Comment