Friday, December 16, 2011

Cukup Sudah Pendidikan Doktrin



“Animo anak-anak SMA disini terhadap kuliah sangat kecil. Tidak lebih dari 30% siswa SMA yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Bagi mereka dunia kerja jauh lebih menarik ketika selepas tamat dari SMA. Potensi perkebunan sawit yang luas itu sangat menggoda mereka”, begitulah curhat yang disampaikan kepada saya oleh seorang pejabat di Kantor Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat. Inilah sebuah potret kecil bagaimana pola pikir yang berkembang di sebagian siswa SMA di Indonesia hari ini.

Tahun 2011 IPM Indonesia mengalami kenaikan satu peringkat dari 125 menjadi 124 dari 187 negara. Meski IPM Indonesia meningkat dibanding tahun lalu, namun Indonesia masih berada di bawah lima negara ASEAN lainnya yaitu Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand dan Filipina. IPM merupakan ukuran rangkuman untuk menilai kemajuan jangka panjang melalui tiga dimensi dasar pembangunan manusia. Ketiga dimensi itu yakni ekspektasi tingkat hidup saat kelahiran yang merupakan indikator dari kesehatan dan harapan hidup. Kemudian kemampuan baca tulis orang dewasa yang menunjukan tingkat pengetahuan dan pendidikan. Terakhir yakni tingkat kehidupan yang layak diukur dari pertumbuhan domestik produk per kapita.

Ketiga dimensi di atas semuanya tidak lepas dari faktor pendidikan yang mengembangkan manusianya. Sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia mulai dari pendidikan dasar hingga tinggi adalah sistem doktrin. Metode pengajaran yang diberikan tidak mendidik siswa untuk berpikir kritis. Hal ini membuat Bob Sadino menyatakan bahwa wajah pendidikan formal di Indonesia adalah sebagai penghambat kemerdekaan seseorang dalam mengembangkan kepribadian, karir, dan usaha atau bisnis.

Sistem doktrin tidak hanya melahirkan manusia pragmatis. Menurut Rhenald Kasali sekolah di Indonesia juga akrab dengan kebiasaan mengancam, menekan, dan menakut-nakuti. Hal ini tentu merupakan salah satu akibat dari doktrin yang menular. Kebiasaan tersebut akhirnya menghambat anak didik untuk maju. Minim sekali apresiasi yang sebenarnya mampu membangun karakter optimis yang diberikan oleh para guru atau dosen di negeri ini terhadap anak didiknya. Mereka selalu menilai anak didiknya berdasarkan ilmu mereka yang telah jauh di depan.

Potret kecil yang digambarkan di Pasaman di atas adalah salah satu contoh kompleksitas akibat dari sistem pendidikan doktrin di Indonesia. Pada akhirnya sistem ini melahirkan manusia-manusia pragmatis, kapitalis, dan tidak berkarakter cerdas. Manusia-manusia inilah yang hari ini banyak bertebaran di Indonesia sehingganya berjuta permasalahan tak kunjung usai menjerat negeri ini.

Pendidikan karakter, hal inilah yang tengah digalakkan sekarang oleh berbagai kalangan untuk mengakhiri sistem doktrin. Mari kita turut membantu menanamkan karakter yang baik, karakter yang lebih patut dipuji daripada bakat yang luar biasa. Hampir semua bakat adalah anugerah. Karakter yang baik adalah sebaliknya, tidak dianugerahkan namun kita harus membangunnya perlahan, dengan pikiran, pilihan, keberanian dan usaha yang keras (John Luther). Hal ini seharusnya tidak saja diaplikasikan di pendidikan formal namun juga dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini juga harus dimulai sejak dini. Mari lahirkan manusia-manusia Indonesia yang berkarakter cerdas secara holistik.

No comments:

Post a Comment