Wednesday, February 11, 2015

Pasang Surut Wacana Daerah Istimewa Minangkabau

Istana Pagaruyuang di Batusangka, Sumbar (www.theguardian.com)

Indak ado kojo cari kojo, diagiah kojo beko mancibia” (gak ada kerjaan trus nyari kerjaan, dikasih kerjaan malah mencibir), inilah sebuah komentar dari seorang warga yang kontra terhadap tulisan di media yang mendukung gagasan mewujudkan Daerah Istimewa Minangkabau (DIM).
Memang, gagasan ini menuai pro-kontra dari sejumlah kalangan.

Gagasan mewujudkan DIM kembali menguak ke permukaan. Adalah Mochtar Naim(Budayawan Minangkabau) yang menulis ulang idenya pasca pilpres 2014 lalu. Tulisan tersebut pun kemudian kembali dibahas di berbagai forum. Sebelumnya, Mochtar sudah sering menyuarakan ide ini di tulisan-tulisannya sebelumnya.


Gagasan DIM kembali mucul karena dipicu oleh UU tentang desa yang disahkan DPR RI di akhir Tahun 2013. UU tersebut akan mengganti sistem nagari di Sumatera Barat (Sumbar) yang punya fungsi lebih dari sekedar administratif, kembali pada bentuk desa.

Menurut Mochtar Naim, hal ini mematikan sistem sosial budaya minangkabau. Desa berbeda dengan Nagari. Nagari mempunyai empat fungsi utama, yaitu ; sebagai unit kesatuan administratif pemerintahan terendah ; keamanan dan pengamanan ; ekonomi ; adat, agama, dan sosial budaya. Tidak semua fungsi tersebut dimiliki oleh desa seperti yang diatur dalam UU Desa.

Terkait hal di atas pun, Mochtar mencoba mencari solusinya. “Pasal 18B UUD 1945 menyatakan “Negara mengakui satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat istimewa..”. Melalui ini, maka waktunya rakyat Sumbar untuk mengajukan kepada pemerintah pusat agar Sumbar dengan Budaya Matrilineal Minangkabau-nya yang berdasar pada Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS SBK)” (Adat berlandasakan Syari’ah, Syari’ah berlandaskan Alquran), dinyatakan sebagai Daerah Istimewa”, tulis Mochtar dalam artikelnya.

Wacana DIM pun sebenarnya telah lama diapungkan sejak dari Tahun 1980-1990. Seorang Budayawan Minangkabau juga, Yulfian Azrial yang turut berperan di dalamnya. Dalam sebuah wawancara dengan media lokal di Sumbar pada April 2014 lalu, Yulfian mengatakan, “..bangsa kita semakin terpuruk dan kehilangan jati diri..karena itu pentingnya kita membangun kembali social power. Ini terbangun bila kita mampu menumbuhkan kembali mutual trust antara kita. Karena itu, masyarakat harus kembali pada jati dirinya.”

“Kita belajar dari sejarah, lihat Mahatma Gandhi dengan Swadesi-nya dan Jepang dengan Restorasi Meiji-nya”, tambah Yulfian untuk menyakinkan bahwa pentingnya untuk kembali pada jati diri asli seperti halnya niat membentuk DIM. “Mewujudkan DIM dengan nagari-nagari sesuai tatanan aslinya berupa ABS SBK yang diwarisi secara turun temurun, akan lebih optimal menyangga kedaulatan NKRI. Namun saya tak ingin perjuangan ini hanya sebatas mengganti nama dengan tambahan kata ‘istimewa’-nya. Masyarakat Bali, telah lama menjadi daerah istimewa meski tanpa label kata ‘istimewa’-nya.”, jawab Yulfian ketika ditanya kenapa ia tak mau ikut serta memperjuangkan DIM ke Jakarta.

“Perjuangan untuk mewujudkan DIM bukanlah di Jakarta, tapi disini (Sumbar), di setiap nagari kita yang ada. Kita harus berupaya dahulu menjadikan kembali nagari kita sesuai dengan tatanan aslinya. Tidak harus seluruhnya, cukup beberapa untuk membuktikan bahwa tatanan itu masih ada. Tantangan itu sekarang ada di sejumlah kepala daerah dan Anggota DPRD yang tidak memperjuangkan hal tersebut. Padahal tidak ada satu pun UU yang menghambat, malah justru mendukung, seperti UU No 22 dan UU No 32 tentang Pemerintahan Daerah”, lanjut Yulfian.

Yang menarik di atas adalah, Yulfian tidak menyinggung tentang UU Desa, seperti yang diresahkan oleh Mochtar Naim.

Dua tahun sebelumnya. 7 Juni 2012, seorang warga Sumbar lain menulis artikel opini di Media Lokal Sumbar, berjudul “Daerah Otonomi Khusus Sumatera Barat”. Ia memandang ini sebagai langkah awal menuju DIM.

Si penulis menyatakan ada beberapa keistimewaan yang dimiliki Sumbar sehingga ia pantas untuk menjadi daerah istimewa. Dimulai dari keistimewaan sejarah, sejumlah pahlawan nasional yang berjasa besar hingga pernahnya Sumbar menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui Pemerintah  Darurat Republik Indonesia (PDRI). Berikutnya ialah keistimewaan budaya di bidang sosial kemasyarakatan, sama seperti yang kemudian disuarakan Mochtar Naim.
Dengan tiga keistimewaan di atas maka Sumbar tak kalah pantas dibanding Aceh, Papua, dan Yogyakarta yang telah menjadi Daerah Istimewa dan Otonomi Khusus.

Tak lama berselang, enam bulan setelahnya. 17 Desember 2012, seorang warga lainnya menulis di akunnya di sebuah media warga, sebuah tulisan berjudul “Perjuangkan DIM”.

Ia menulis karena dipicu oleh Rancangan Undang-Undang (RUU) Desa yang ketika itu masih dalam proses pengajuan dari pemerintah ke DPR RI. Rancangan ini pun ditolah oleh Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat (Sumbar). Alasan yang dikemukakan oleh Ketua LKAAM, M Sayuti ketika itu, sama dengan dilontarkan Mochtar Naim di atas.

Uraian di atas menggambarkan pasang surut wacana tentang DIM yang tak kunjung menuai hasil. Sejumlah kalangan menilai hangat kembalinya isu DIM saat ini juga didorong oleh kekalahan ‘suara’ Sumbar pada pilpres lalu, dimana 78%-nya memilih Prabowo. Ketika masih panas isu pilpres pun, pada 23 Juli 2014, muncul petisi di change.org untuk meminta dukungan untuk pendirian DIM. Setelahnya pun, sejumlah tulisan di blog pribadi, media warga, hingga jadi pembahasan di media lokal pun latah menyuarakan DIM.

Tak tinggal diam, Gubernur Sumbar, Irwan Prayitno pun merespon wacana ini, “kita akan usulkan kepada pemerintah pusat untuk menjadikan Sumbar menjadi DIM, karena pada dasarnya nagari bersifat istimewa pada dua kata kunci, yaitu ; nagari mempunyai hak asal usul dan susunan asli”, terang Gubernur di Acara LKAAM Sumbar.

Menyambut pernyataan di atas, Mochtar Naim pun langsung bergerak, “kita memerlukan persetujuan, tinggal menunggu dari para pimpinan DPRD”, ujar Mochtar Naim beberapa waktu lalu di sebuah mailing list Perantau Minangkabau.

Ditengah langkah progresif yang tengah digencarkan Mochtar Naim di atas, komentar kontra pun juga tak berhenti bermunculan. Salah satunya berkata, “ini tidak jelas, tidak ada untungnya bagi rakyat banyak. Jangan sampai ini hanya untuk menguntungkan para elit yang sedikit”.

Untung atau rugi, dan siapa yang kemudian berhak atas itu, mari terus ikuti pasang surut wacana ini.

No comments:

Post a Comment