Wednesday, February 11, 2015

Dagelan Jakarta Smart City

Indikator Smart City (radaronline.co.id)

Beberapa waktu lalu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menggelar acara peluncuran aplikasi Jakarta Smart City. Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), menjelaskan bahwa melalui aplikasi ini pemprov akan mampu untuk memantau laporan warga, mengontrol kinerja perangkat daerah, dan merespon berbagai keluhan publik DKI.

Sistem dari aplikasi ini akan terintegrasi dengan sejumlah data dari pemprov Jakarta, dan kedepannya juga akan dikembangkan terhubung dengan e-government. Aplikasi Jakarta Smart City ini bekerjasama dengan Google dan Twitter untuk mendongkrak aksesibilitasnya oleh publik.
Kondisi Jakarta sebagai kota megapolitan memancing ketertarikan banyak investor di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk menawarkan konsep smart city melalui kerjasama dengan produk mereka.


Ooredoo, sebuah Perusahaan asal Qatar, mengatakan bahwa lebih dari sepuluh kota megapolitan di dunia menggunakan jasa mereka untuk mewujudkan konsep smart city. Dengan sudut pandang bisnisnya, mereka meyakini bahwa peran internet bisa menjawab banyak permasalahan kota megapolitan.

Namun begitu, definisi smart city diakui banyak pihak masih belum jelas. Sebuah perusahaan merilis bahwa ada 10 smart city di dunia, diantaranya yaitu ; Vienna, Toronto, Paris, New York, London, Berlin, dan Hong Kong.

Lalu sekarang, apakah suatu hari Jakarta akan bisa masuk ke dalam 10 besar itu ?

Konsep smart city yang mengedepankan TIK sebagai solusi bagi permasalahan kota-kota megapolitan. Ibarat obat, konsep tersebut diharapkan bisa menyembuhkan penyakit-penyakit kota besar. Sekarang mari kita lihat apa saja penyakit yang ada di Jakarta.

Berikut riwayatnya, kita mulai dari yang populer dan biasanya akan segera datang di awal tahun ini, di puncak musim hujan, yaitu Banjir. Kondisi geografis Jakarta yang dilalui oleh jalur angin muson membuat jumlah curah hujan yang jatuh di Jakarta selama musim hujan cukup tinggi. Hal ini kemudian menyebabkan naiknya volume air di 13 sungai yang melintasi Jakarta. Dengan kondisi sistem drainase dan tanggul yang belum baik, alhasil Jakarta pun menjadi langganan banjir setiap tahunnya.
Sistem drainase di Jakarta banyak terganggu oleh sampah yang dibuat oleh jutaan jiwa penduduk Jakarta yang belum cukup pintar secara merata. Pada Tahun 2013, banjir Jakarta meyebabkan kerugian hingga Rp 20 triliun, 20 korban jiwa, dan puluhan ribu orang mengungsi.

Selanjutnya, adalah penyakit kemacetan. Jumlah kendaraan di Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) mencapai 38,7 juta unit (IEE, 2013). Angka ini pun masih terus mengalami pertumbuhan sekitar 16,5 persen per tahun. Sementara itu, ruas jalan di Jakarta sekarang masih jauh dari kebutuhan normal yang mestinya seluas 20 persen dari luas kota. Saat ini jalan di Jakarta baru di angka 6,2 persen dan sebagian besar lahan sudah sesak. Lalu terkait moda transportasi umum, meskipun moda kereta listrik dan busway sudah mulai membaik, namun jumlah angkot di Jakarta mencapai jumlah 16 ribu angkutan. Angka-angka tersebut menunjukkan tingkat kebutuhan manusia di Jakarta.

Kemudian, tentang penggunaan lahan dan tata ruang kota. Rencana tata ruang Jakarta terlihat lebih berorientasi untuk memenuhi kebutuhan fasilitas penduduk, sementara soal pengendalian pertumbuhan pemanfaatan lahan dan pertumbuhan jumlah penduduk kurang diperhatikan. Akibatnya kebutuhan ruang penduduk akan selalu meningkat dan Jakarta pun tidak muat lagi bagi mereka.

Hal di atas juga berkaitan dengan soal daya dukung lingkungan di Jakarta. Jakarta dari Abad ke 15 hingga sekarang adalah daerah teluk yang berdataran rendah, dan berada di bawah muka laut pasang. Lalu Jakarta juga memiliki sejumlah dataran banjir di sepanjang pinggiran aliran sejumlah sungai. Daerah dengan kondisi seperti ini mestinya memiliki aliran permukaan dan daerah resapan yang cukup. Namun faktanya, pembangunan di Jakarta sekarang sebagian besar sudah mengabaikan semua itu karena tingginya kebutuhan manusianya.

Itulah sejumlah riwayat penyakit Jakarta, yang kemudian benar-benar menyebabkan penyakit sebenarnya. Polusi dari kendaraan di Jakarta menyebabkan 57,8 persen warga menderita berbagai penyakit, dari asma hingga infeksi pernapasan. Itulah juga yang kemudian membuat Jakarta masuk ke dalam 20 kota di dunia yang terancam bangkrut menurut Jurnal Nature Climate Change.

Dalam sejumlah teori tahap perkembangan kota, sulit menjelaskan Jakarta berada di tahap yang mana, karena terdapat sejumlah anomali akibat riwayat penyakit di atas.

Jika dibaca kembali, maka salah satu penyebab utama dari riwayat penyakit di atas adalah jumlah penduduk Jakarta. Laju urbanisasi cukup tinggi yakni di atas 4,5 persen per tahun. Kepadatan penduduk di Jakarta 15.234 orang per kilometer persegi. Data dari World Population Review mencatat jumlah penduduk Jakarta mencapai 10,2 juta jiwa di akhir Tahun 2014 lalu. Ini yang tinggal menetap di dalam area DKI Jakarta, yang sering melakukan perjalanan dari kawasan Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, mencapai sekitar dua kali lipatnya. Jumlah penduduk di Kawasan Jabodetabek lebih dari 28 juta jiwa. Angka ini hampir sama dengan jumlah penduduk di Malaysia dan Kanada.

Jika jumlah penduduk di atas dapat dikendalikan, maka penyakitnya pun lebih mudah disembuhkan.
Kembali pada smart city, apakah aplikasi tersebut bisa jadi obat untuk semua riwayat penyakit di atas?. Terlepas dari konsep smart city yang merupakan jualan para perusahaan TIK, sederhananya, smart city mestinya tidak akan punya riwayat penyakit sebanyak itu.

Well, Jakarta sekarang mencoba berbenah. TIK bisa membantu, tapi jika pengendalian populasi tak dilakukan, maka itu hanya akan menjadi obat warung. Obat penghilang rasa sakit, namun tak akan pernah menyembuhkan riwayat penyakit Jakarta.

Sejauh ini, belum tampak langkah serius yang efektif dari pemprov DKI untuk mengendalikan jumlah populasinya. Padahal jumlah tersebut sudah merugikan pemprov yang mesti terus mensubsidi mereka.

Maka menjadi penting sekarang untuk kembali memperhatikan persoalan ini. Lakukan pengendalian populasi, sesuaikan dengan rencana pembangunan yang telah ada yang juga menyangkut pertumbuhan kota-kota lain di Indonesia. Kembalikan wacana pemindahan ibukota dan segera realisasikan. Jangan hanya sibuk dengan drama politik yang melelahkan, perhatikan isu yang lebih produktif. Ini bagian dari geopolitik dan geostrategi pembangunan Indonesia

Jika hal di atas dilakukan maka ada peluang Jakarta bisa masuk ke dalam 10 smart city dunia. Jika tidak, mungkin Jakarta smart city tak lebih dari slogan, dagelan.


Tulisan ini dipublish di Selasar.com ,16 Januari 2015

No comments:

Post a Comment