Wednesday, October 1, 2014

Bangun Kembali, People Power


Matinya kedaulatan rakyat, begitulah tajuk di sebuah media untuk membangunkan kesadaran rakyat.

Hari-hari pasca Sidang Paripurna DPR menyita perhatian pada keputusan kontroversial yang menetapkan bahwa pilkada akan kembali dipilih oleh DPRD, seperti masa orde baru. Akumulasinya menyasar pada Partai Demokrat dan SBY. Pilihan Fraksi Demokrat yang memutuskan untuk walk out pada sidang tersebut, ditenggarai menjadi penyebab lolosnya usulan pilkada oleh DPRD dari Koalisi Merah Putih. SBY pun terduga menjadi aktor utama dari sandiwara politik ini. Hal ini dikarenakan adanya pernyataan kecewa SBY usai sidang berlangsung dan pernyataan dari Ruhut Sitompul (Anggota Fraksi Demokrat) yang menyebutkan Fraksi Demokrat meninggalkan sidang setelah terima SMS dari SBY.

Meskipun ada nama lain yang diduga menjadi aktor utama juga, namun kemungkinan ini diperkirakan sangat kecil. Mengingat SBY adalah seorang tokoh kunci di Partai Demokrat. Dari tinjauan politik, memang keputusan ini sangat simalakama bagi Demokrat. Namun apa yang telah terjadi sekarang, menancapkan bekas kuat di ingatan publik. SBY meninggalkan warisan terburuk bagi rakyat.


Di media sosial, hashtag #shameonyouSBY menjadi trending topic. Ini menunjukkan kekecewaan besar rakyat terhadap SBY. Salah satunya menyebut SBY sebagai Bapak Anti Demokrasi Indonesia. Seperti yang kita tahu, pilkada langsung ditetapkan pada awal masa pemerintahan SBY, dan kini pun dicabut diakhir masa pemerintahannya. Ini seakan seperti hadiah yang dipinjamkan pada rakyat hanya demi kelanggengan kuasa politik penguasa.

Ketika semua perhatian dan amarah tertumpah pada SBY dan Demokrat. Ini seakan menjadi pertanda bahwa rakyat menaruh harapan besar pada SBY dan Demokrat yang mestinya mampu menyelamatkan kedaulatan rakyat melalui pilkada langsung. Voting akan dimenangkan oleh usulan pilkada langsung jika Demokrat mendukung usulan ini, karena fraksi mereka adalah jumlah terbesar di parlemen.

Sisi lain, ini juga memperlihatkan bahwa rakyat sudah sangat antipati terhadap Koalisi Merah Putih sebagai pengusul pilkada oleh DPRD yang membunuh kedaulatan rakyat. Politik bagi koalisi ini, menjadi semakin amis, pesing, lebih dari busuk.

Dengan beraninya, Ical menyebut “keberhasilan Koalisi Merah Putih meloloskan usulan pilkada oleh DPRD adalah berkat dukungan rakyat”. Lain kesempatan, salah satu anggota DPR dari Fraksi Golkar pada sebuah kegiatan kepemudaan, memasukkan bahasan yang mengkampanyekan pilkada oleh DPRD. Ia berujar, “dulu kita terlanjur bodoh untuk menggunakan sistem pilkada langsung, sekarang kita kembali pada sistem lama demi kebaikan rakyat”.

Rakyat mana?. Rakyat bagi mereka pun menjadi semakin hipokrit. Sebuah kepalsuan yang telanjang.
Memang, kedua pilihan jenis pilkada tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Tapi mari kita lihat kondisi di lapangan saat ini. Kondisi yang memprihatinkan dari para anggota DPR. 48 orang anggota DPR yang akan dilantik terjerat kasus korupsi. Rakyat juga melihat langsung rusuhnya sidang paripurna yang berlangsung kemaren. Lalu apakah prestasi para anggota DPR tersebut sehingga mereka menganggap mereka cukup representatif untuk memilih kepala daerah ?

Jumlah suara golput dalam pemilu legislatif sangat tinggi. Ditambah lagi, sebagian suara juga hanya memilih partai, bukan memilih calon secara langsung. Ini bukti-bukti lemahnya legitimasi mereka sebagai wakil rakyat. Apalagi kalau melihat sejumlah penghamburan uang mereka dari sejumlah perjalanan luar negeri berkedok studi bandingnya, hingga fasilitas mewah di sekitar mereka.
inikah yang akan dipercayai rakyat untuk memilih kepala daerahnya nanti?

Dan yang lebih utama lagi, agenda ini berangkat dari nafsu politik yang haus kekuasaan. Adalah Koalisi Merah Putih yang ingin mengamankan peluang agar para kader partai mereka tetap bisa menguasai daerah-daerah.

Niat untuk menjadi kekuatan penyeimbang adalah baik, namun birahi oligarki yang berlandaskan kepentingan kelompok akan mengacaukan dinamika politik dan pembangunan Indonesia ke depan. Yang akan terjadi adalah para elit disibukkan dengan perebutan kuasa, program pembangunan terbengkalai, dan rakyat pun menjadi semakin kehilangan kepercayaan pada aktor politik dan permainannya.

Untuk para dalang di Koalisi Merah Putih, agar kembali pada akal sehat dan hati nurani. Kendalikan nafsu buas berpolitik. Buka mata batin, dan mari dukung kematangan politik Indonesia secara berwibawa.

Wahai para dalang, terlalu hina Merah Putih dijadikan sebagai nama koalisi anda, jika jalan yang ditempuh begitu jalang. Cukup, jadikan merah putih sebagai kedok. Anda melecehkan rakyat terlampau banyak, dengan semua yang telah terjadi. Mulai dari tipu daya black campaign, hingga mengira rakyat tak layak untuk memilih kepala daerahnya sendiri.

Bagi Rakyat, jangan diam. Saat ini sudah gencar gerakan yang mendukung Judicial Review UU Pilkada ke MK. Mulai dari Asosiasi kepala daerah se-Indonesia, sejumlah LSM, komunitas, pemuda, mahasiswa, dan gerakan relawan sudah bergerak. Saatnya rapatkan barisan.

Para pendiri bangsa kita mungkin tak kuasa menahan haru amarah jika melihat kusutnya pertarungan politik yang terjadi saat ini. Beberapa orang pemuda menangis melihat putusan Sidang Paripurna yang terjadi, jalan perubahan semakin berat dan banyak rintang. Karena Bung Hatta pun benar, “nanti kau akan melawan bangsa sendiri”.

Kedaulatan rakyat belum mati. Jika ada pendapat, langsung atau tidak langsung akan sama saja, maka anda salah besar. Lihatlah betapa banyak perubahan yang terjadi dari terpilihnya kepala daerah seperti ; Risma, Ridwan Kamil, Ahok, hingga Jokowi bisa jadi presiden pun, juga berkat pilkada langsung. Adapun kekurangannya, untuk dilengkapi bersama, bukan berarti melangkah mundur ke pilkada oleh DPRD.

Mari bangun kembali, people power.


Tulisan ini dimuat di Media Selasar 

No comments:

Post a Comment