Thursday, September 25, 2014

Realitas Politik Kita ?


Hiruk pikuk obrolan soal prediksi siapa yang akan menduduki kursi panas kabinet Jokowi JK, telah menuai banyak asumsi berkembang, baik di tataran elit maupun masyarakat umum. Sejumlah janji kampanye Jokowi JK mulai diragukan.

Dimulai dari soal wacana kabinet ramping yang dulu dijanjikan Jokowi JK. Jokowi pernah menyatakan bahwa akan ada sekitar 20-an menteri saja ketika kampanyenya. Namun sekarang ternyata rilis terakhir mengatakan bahwa akan ada 34 kementrian, yang 16-nya akan diisi figur profesional dari partai politik (parpol), sementara 18 lain diduduki figur menteri dari kalangan profesional murni. Tim Jokowi kemudian berdalih bahwa jumlah ini ideal serta sesuai dengan UU Kementrian Negara.

Lalu tentang koalisi tanpa syarat. Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro meminta kepada presiden terpilih, Joko Widodo untuk membuktikan janjinya saat kampanye dengan menyatakan akan memberlakukan koalisi tanpa syarat dan tak melakukan praktik transaksional politik. Menurut Siti, dengan komposisi kabinet yang disebutkan Jokowi, 16 kursi menteri untuk parpol, tidak menggambarkan seperti yang ia janjikan.


Berikutnya, Jokowi JK juga pernah membanggakan koalisi ramping mereka ketika kampanye. Mereka menyatakan bahwa ini akan ideal untuk berjalannya pemerintah nantinya, dimana tidak akan terlalu banyak kepentingan politik yang mesti dipertimbangkan. Namun di Rakernas PDI P lalu mengundang PAN dan PPP untuk hadir, sehingga semakin menguatkan wacana yang menguat sebelumnya tentang kemungkinan dua partai tersebut akan merapat ke koalisi Jokowi JK. Bahkan ada lagi pernyataan terakhir Jokowi yang seakan memberi jalan bagi demokrat untuk juga turut bergabung. Maka jika itu semua jadi, koalisi pun tak akan ramping lagi.

Terkait fakta-fakta di atas, para pendukung Prabowo beserta koalisinya pun menjadi semakin menjadikan hal tersebut sebagai bulan-bulanan serangan mereka. Muncul di media sosial sebuah gerakan yang menyindir salam dua jari Jokowi JK dulu, ialah Gerakan Nasional Salam Gigit Jari.
Gerakan ini membuat sejumlah poster yang mengutip sejumlah kontra sikap dari janji-janji kampanye Jokowi JK. Diantaranya, mereka mengutip pernyataan JK pada 9 Juni, “Di koalisi kami tidak ada janji-janji beri delapan kursi menteri pada partai koalisi. Hanya keikhlasan yang mendasari kita semua”. Dan nada berbeda di 17 September lalu, “16 kursi menteri untuk parpol ini syarat koalisi. Tidak bisa semua murni profesional. Itu realitas politik kita”.

Kejadian di atas pun tak ayal membuat terjadinya penurunan ekspektasi dari para pendukung Jokowi JK pada pilpres lalu.

Dari kondisi tersebut, apakah menunjukkan bahwa berarti Jokowi JK tidak realistis dalam berpolitik ?. Apakah Jokowi gagal dengan politik optimisnya dengan mengira politik nasional sama dengan eskalasi politik ketika ia jadi walikota atau gubernur ?.

Sebelum menjawab itu, kita coba bandingkan terlebih dahulu dengan apa yang terjadi dengan Koalisi Merah Putih sebagai lawan politik Jokowi JK.

Sangat berbeda, koalisi merah putih sangat realistis dalam politiknya. Koalisi gemuk yang dimulai dari masa kampanye menjadi pilihan mereka agar mampu membuat kekuatan besar. Harapannya dulu, itu akan mampu memenangkan mereka di pilpres. Lalu, syarat koalisi pun bahkan dinyatakan secara berani. Salah satunya yaitu Prabowo berjanji Ical akan dijadikan menteri utama jika nanti ia terpilih.

Kampanye berlalu dan sementara suara dihitung. Koalisi ini tidak diam saja. Mereka sembunyi-sembunyi memanfaatkan perhatian publik yang tersita pilpres, mereka pun meng-gol-kan UU MD3, yang menguatkan kekuasaan mereka di legislatif. Salah satunya mereka membuat pimpinan DPR tidak harus dari partai pemenang pemilu, PDI P. Alhasil, ini pun semakin melemahkan kekuatan Jokowi JK di legislatif.

Suara pun selesai dihitung, koalisi ini kalah dan mereka terus menggugat ke MK meski dengan kemungkinan ditolak sangat besar. Untuk bagian ini memang koalisi merah putih kurang realistis. MK menolak gugatan, mereka pun lanjut ke celah lain, yaitu RUU Pilkada. Koalisi ini mencoba mencari peluang untuk bisa meloloskan pilkada tidak langsung melalui DPRD, untuk bisa melengkapi keberhasilan mereka di legislatif. Agar tetap besar kemungkinan kader partai-partai mereka bisa menduduki posisi kepala daerah, karena jumlah mayoritas mereka di dewan.

Jauh sebelumnya, mengenai strategi kampanye, pengemasan prabowo yang cukup elegan dan konsistensi serangan black campaign dari koalisi merah putih yang berhasil menaikkan elektabilitas Prabowo hingga sekitar 20% dalam empat bulan. Itu semua juga bentuk politik realistis yang dijalankan oleh koalisi merah putih, meskipun di sisi lain itu semua juga menunjukkan nafsu buas politik mereka. Tak heran, karena di koalisi tersebut ada sejumlah politisi senior berpengalaman semacam Akbar Tanjung dan Amien Rais.

Momentum RUU Pilkada dan menjelang pengumuman kabinet sekarang, menjadi sebuat pertemuan titik equilibrium antara politik realistis koalisi merah putih dengan politik optimis Jokowi JK. Sejumlah partai di koalisi merah putih mulai tergoda untuk keluar dari koalisi, dan Jokowi JK pun juga tergoda untuk melanggar sejumlah janji kampanyenya seperti di atas.

Kedua belah pihak akan sama-sama berkemungkinan untuk  menjadi untung atau buntung. Jokowi JK berada pada posisi terjepit dan terpaksa, karena kekuatan koalisi mereka lemah di legislatif yang berpotensi menyulitkan jalannya program eksekutif, sehingga untuk mengantisipasi itu mereka butuh PAN dan PPP untuk memperkuat barisan. Dengan ini mereka akan untung di masa depan dan buntung untuk sekarang karena mengingkari janji kampanye.

Jika PAN dan PPP gagal bergabung ke Jokowi JK, maka koalisi merah putih akan untung dan mungkin usulan pilkada tidak langsung oleh DPRD akan gol di paripurna. Buntungnya, partai-partai dalam koalisi tersebut akan minim pos pemasukan dan bersiap menerima hadangan rakyat yang mayoritas mendukung pilkada langsung.

Inilah jalan berat bagi ide pembaharuan oleh Jokowi JK. Mengubah realitas politik gaya lama menjadi tradisi baru ternyata tak mudah. Dan jika Jokowi adalah ‘kita’, maka inikah realitas politik ‘kita’ ?. 

Tulisan ini dimuat di Media Selasar 

No comments:

Post a Comment