Monday, August 5, 2013

Presidensialisasi Partai

https://encrypted-tbn3.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSDbQPm5qPHsVNgfoV8lKVD0k4gVNz71FsMjoiiIyVOdBWhrdNt

Mendekati Tahun 2014, kecamuk politik di Indonesia semakin kusut. Semua perilaku semakin mendekat pada pragmatisme elektoral, dan menjauh dari substansi berpolitik seharusnya. Saat ini kembali terangkat fenomena presidensialisasi partai yang membuat kepemimpinan ideal di alam demokrasi Indonesia sangat bertumpu pada figur dan terus meninggalkan khitah partai politik (parpol) yang seharusnya menjadi instrumen utama. Tema ini diulas oleh Hanta Yuda (Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute) pada Sabtu (27/07) lalu dalam Metro Highlights di Metro TV.

Hanta membenarkan bahwa saat ini memang terjadi fenomena ‘Figur Politik vs Partai Politik’. “Parpol harusnya sebagai instrumen utama dalam demokrasi, namun kenyataannya justru figur yang malah semakin kuat. Dalam istilah lain fenomena ini bisa juga disebut ‘Presidensialisasi Partai vs Institusionalisasi Partai’. Presidensialisasi partai adalah dimana (citra) kualitas parpol hanya dikendalikan oleh seorang figur dan institusionalisasi partai ialah bagaimana seharusnya kualitas sebuah partai berangkat dari kapasitas sistemnya yang lahir dari ide bersama para anggotanya”.

“Kecendrungan memilih publik masih pada karakter figur, belum pada karakter partai yang mencakup visi, misi, dan ideologinya. Figur menjadi magnet elektoral bagi partai. Contohnya adalah pada Pemilu 2004, raihan suara yang diperoleh SBY jauh di atas raihan Partai Demokrat. Pada tingkat Pilkada, hal ini terjadi di Pilkada DKI Jakarta dan Jawa Tengah dimana Jokowi dan Ganjar yang hanya didukung oleh minim mesin partai mampu mengalahkan calon lainnya yang didukung oleh koalisi banyak partai”, jelas Hanta.

Hanta menekankan bahwa parpol terlihat semakin mencampurkan kekuatan figur dengan kepartai-annya, padahal seharusnya yang mesti dperkuat adalah kapasitas kolektif partai. Semua pemilihan unsur dalam trias politika ; eksekutif, legislatif, dan yudikatif, terkait dengan parpol, maka dari itu fenomena ini mesti dikendalikan. Parpol harus segera direvitalisasi.

“Ada beberapa penyebab kenapa figur lebih dipercaya daripada parpol. Saat ini masa depan parpol sangat bergantung pada usia politik figur. Ada empat hal setidaknya yang menjadi penyebabnya. Pertama adalah relasi ideologi yang semakin jauh antara parpol dengan publik. Parpol hanya datang ke publik ketika menjelang pemilu, sehingga publik kesulitan mengenal kapasitas utuh dari parpol tersebut”.

“Kedua, warna ideologi partai yang semakin kabur dikarenakan semua parpol hanya berfokus pada perebutan ceruk suara. Ketiga yaitu fenomena presidensialisasi partai yang dijelaskan di atas. Parpol terjebak pada figuritas. Terakhir, citra partai yang semakin tergerus. Contohnya publik lebih bangga disebut sebagai Relawan Jokowi daripada sebagai Relawan PDI P. Budaya politik Indonesia masih menyukai kharisma dan hal ini hanya bisa melekat pada figur, belum pada parpol”.

Kontestasi Capres 2014

Ditanya terkait bagaimana prediksi untuk kontestasi capres di 2014, Hanta menyatakan bahwa hal ini akan masih sangat bergantung pada figur. Dengan indikator kapabilitas, integritas, dan akseptabilitas, diperkitakan capres hanya akan muncul dari 3 jalur. Pertama dari para pelaku presidensialisasi partai yakni para petinggi partai seperti Aburizal Bakrie, Megawati, Hatta, dan Prabowo. Kedua dari figur berelektabilitas tinggi seperti Jokowi dan terakhir dari para pemilik kapital tinggi.


“Tantangan masa depan demokrasi kita adalah bagaimana memperkuat posisi parpol, muai dari perilaku kader, infrastruktur, hingga sistemnya. Hal ini diharapkan mampu menciptakan mekanisme-mekanisme yang lebih pada demokratisasi sistem, bukan figur. Parpol adalah instrumen utama dalam demokrasi, tidak bisa dibayangkan mekanisme demokrasi tanpa parpol, maka dari itu agenda penting ke depan adalah penguatan kapasitas parpol”, tutup Hanta.

No comments:

Post a Comment