Wednesday, October 31, 2012

(Latar Belakang) Pendidikan Polisi

KPK terdesak, sekelompok polisi membabi-buta, Kapolri gagu, Presiden hanya memantau, dan rakyat tumpah ruah bersorak riuh.

Kondisi inilah yang terjadi di Jumat (5/10) malam lalu, sekelompok Intel Polri mengepung KPK dan mendadak hendak menangkap penyidik KPK Novel Baswedan atas tuduhan kasus 8 tahun silam.

Kembali terjadi tamparan bagi penegakan hukum di Indonesia. Polri diduga melakukan kriminalisasi terhadap penyidik KPK untuk menghambat pengusutan kasus simulator SIM yang menjerat Irjenpol Djoko Susilo. Sebuah tindakan pengecut dan tidak berintegritas dari sekelompok oknum Polri yang semakin mencoreng kredibilitas Polri sebagai salah satu penegak hukum di Indonesia.

Mengapa Polri bersikap demikian?. Jika kita mencoba membongkar lebih jauh lagi ke dasar penyebabnya, maka akan ditemukan di kata “kualitas sumber daya manusia (SDM)”. Polri sesungguhnya telah berupaya terus berbenah diri dari sejumlah perbaikan sistem. Mulai dari pembuatan blueprint program perbaikan internal yang meliputi perbaikan mental institusi, pelayanan masyarakat, bebas korupsi dan pungli, hingga keberanian untuk mengusut aib sendiri.

Namun disamping itu, tentu juga dibutuhkan dorongan luar untuk menyempurnakan upaya tersebut. Dorongan itu adalah kesadaran sejumlah pihak terutama pemuda, untuk memperbaiki dari dalam sistem. Selama ini banyak pemuda yang hanya bisa bersorak dari luar sistem, mengkritik, mengecam, dan menuntut berbagai hal dari Polri, namun nyaris tiada yang mampu memberi solusi paling kongkrit, yaitu ikut berjuang bersama di dalam sistem.

Sekarang lihatlah siapa saja pemuda bangsa yang saat ini berjuang dari dalam sistem. Komjen Nanan Sukarna (Wakapolri) menyatakan bahwa peningkatan sumber daya manusia di kepolisian belum tuntas. Tingkat pendidikan polisi di lapangan umumnya rendah, 350 ribu orang polisi di lapangan ialah hasil pendidikan Bintara, belum mengenyam pendidikan tinggi.

Dalam buku 'Progression of Motivate and Professional Value' disebutkan bahwa motivasi terbesar sebagian besar pemuda menjadi polisi adalah  crossical motivation ; motivasi jalan pintas. Cara cepat memperoleh pekerjaan dengan penghasilan layak tanpa syarat pendidikan tinggi. Hal inilah yang kemudian mendorong maraknya metode suap dalam tes masuk polisi. Hingga muncul ungkapan “kurang tes, tambahin tas”.

Berawal dari proses yang salah di awal, sehingganya output yang dihasilkan pun turut berpengaruh. Mulai dari kasus simulator SIM hingga pengepungan KPK adalah multiplier effect-nya.

Satjipto Rahardjo (2002) menyatakan bahwa pendidikan merupakan sarana strategis menyiapkan SDM polisi yang bertugas sarat dengan muatan perubahan. Pendidikan polisi memerlukan sikap dasar ‘sadar perubahan’. Hal ini dapat diperoleh dari proses belajar di pendidikan tinggi. Ambil contoh Polisi di AS, mereka terus didukung untuk mendapatkan pendidikan tinggi karena diyakini dengan standar kualitas intelek yang tinggi dapat meningkatkan kepekaan mereka terhadap warga negara, bertindak lebih adil, jujur, dan berintegritas.

Saat ini terdapat 4,8 juta pemuda Indonesia yang tengah mengenyam pendidikan tinggi. Namun sangat sedikit dari mereka yang berminat menjadi polisi. Sudah saatnya para pemuda berkualitas bangsa ini mampu menjawab persoalan ini dengan berjuang dari dalam sistem. Demi mendorong penegakan hukum di Indonesia.

 Tulisan ini dimuat di Seputar Indonesia 26 Oktober 2012

No comments:

Post a Comment