Monday, August 29, 2016

Risma dan pembangunan-berkelanjutan



Kondisi yang membutuhkan pembangunan strategis

Seiring dengan mendekatnya Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017, perhatian publik yang digiring media terhadap topik ini pun semakin meningkat. Tak Cuma partai politik (parpol), aliansi masyarakat sipil beserta sejumlah organisasi pun turut serta meramaikan bahasan ini dengan mengusung sejumlah calon. Hal ini semakin menjadi-jadi setelah Basuki Tjahja Purnama (Ahok), calon incumbent, menetapkan untuk maju melalui jalur parpol. Keputusan ini membuat sejumlah pihak yang tidak menginginkan Ahok sebagai gubernur lagi, menjadi cemas dan langsung ribut memaksa calon lain yang tak kalah kuat, salah satunya adalah Tri Rismaharini (Risma), Walikota Surabaya saat ini yang berprestasi.

Sejumlah seruan dan bujukan untuk Risma menjadi calon gubernur Jakarta sontak menggeliat dimana-mana. Mulai dari masyarakat sipil, warga Kelurahan Kalianyar, Jakarta Barat dan warga Jatinegara Ilir beberapa waktu lalu menggelar deklarasi mendukung Risma menjadi calon gubernur (Cagub) DKI. Alasan warga tersebut adalah karena ingin Jakarta dipimpin figur yang lebih merakyat dan mengedepankan dialog. Kemudian disusul oleh pernyataan sejumlah Alumni Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS) yang juga menyatakan Risma pantas didukung untuk maju menjadi Cagub DKI melawan Ahok.

Tak cuma itu, media massa pun turut berkonspirasi menggiring berita seolah-olah Risma akan maju jadi Cagub DKI. Sebuah pidato Risma di Surabaya yang menyatakan permintaan maaf akibat ia tidak menghadiri sebuah acara di Surabaya, di-framing menjadi permintaan maaf untuk maju jadi Cagub DKI. Tampaknya media pun sangat memanfaatkan topik ini untuk meningkatkan popularitas portalnya.

Tak ayal hal ini membuat parpol pengusung pun menjadi semakin mempertimbangkan untuk memboyong Risma ke Jakarta. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang awalnya hendak mengusung Ahok pun, tampaknya mengkaji ulang keputusan ini. Beberapa waktu lalu PDIP membentuk koalisi besar dengan sejumlah partai lain, Gerindra, Demokrat, PKB, PKS, PPP dan PAN. Semua memberi usulan pasangan untuk Risma, Gerindra dan PKS ingin Sandiaga, PPP mengajukan Yusuf Mansyur, Demokrat mempertimbangkan Anies Baswedan. Sejumlah pihak menilai bahwa membawa Risma ke Jakarta akan mampu membuat Risma mengikuti jejak Jokowi menuju kursi Presiden. Pola pikir ini semakin memperkuat daya Jakarta sentris. Dimana Jakarta menjadi batu pijakan untuk kekuasaan tertinggi dan terbesar di Indonesia. Jakarta menjadi daya tarik untuk optimalisasi popularitas kepentingan, dari politik hingga bisnis.
Lalu apa kabar dengan pemerataan pembangunan di Indonesia? Pemerataan hasil pembangunan di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2015, 28,59 juta orang atau 11,22% penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Jumlah ini bertambah sebesar 0,86 juta orang dibandingkan dengan kondisi September 2014 yang sebesar 27,73 juta orang (10,96 persen). Jumlah orang miskin terbanyak berada di Provinsi Risma, Jawa Timur sebanyak 4,78 juta jiwa. Lalu di posisi kedua disusul Provinsi Jawa Tengah 4,58 juta jiwa, kemudian Jawa Barat sebanyak 4,35 juta orang miskin. Peringkat keempat dan kelima ditempati Provinsi Sumatera Utara 1,46 juta jiwa dan Lampung 1,14 juta jiwa. Ini belum termasuk daerah Indonesia Timur yang kecil secara jumlah, namun dengan kondisi lebih terabaikan.
Sementara itu, sejumlah program pembangunan di timur dan ujung barat Indonesia digawangi oleh institusi dan lembaga donor asing. Hal ini rentan bagi keutuhan bagi kedaulatan bangsa, lembaga-lembaga tersebut memiliki power lebih besar dalam mempengaruhi arah pembangunan, dikarenakan kekuatan capital. Sejumlah pemerintah daerah (pemda) banyak yang ‘bisa dibeli’ oleh power asing ini, ketika pemda hanya dihuni SDM bermental korup dan miskin idealisme dan integritas.
Gini Index untuk pemerataan penghasilan Indonesia adalah 0,34, hal ini menunjukkan adanya ketidakmerataan penghasilan yang cukup besar di Indonesia. Gini index merupakan ukuran tingkat penyimpangan distribusi penghasilan. Gini Index untuk pemerataan kepemilikan tanah di Indonesia mencapai 0,46, nilai ini menunjukkan adanya ketidakmerataan kepemilikan tanah yang cukup besar.

Disparitas pembangunan menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung usai bagi Indonesia. Salah satu Program Jokowi adalah meningkatkan intensitas implementasi Program Tol Laut dengan perluasan cakupan daerah untuk mengurangi disparitas harga. Namun disparitas ini sayangnya mencakup berbagai sector, termasuk sumber daya manusia (SDM).
Pembangunan berkelanjutan konon sudah masuk dalam visi pembangunan Indonesia 2030 dan juga Nawacita Jokowi. Douglas Broderick (United Nations Resident Coordinator) menyebutkan bahwa beberapa tantangan Indonesia dalam mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs) adalah masalah kesenjangan sosial, good governance dan generasi muda.
Untuk menjawab tantangan di atas, maka kita harus membiarkan orang terbaik di daerah untuk melanjutkan pembangunan berkelanjutan di daerah. Meskipun ada pihak yang menilai Risma sudah meletakkan fondasi pembangunan berkelanjutan di Surabaya, namun potensi itu justru akan lebih bermanfaat untuk mengentaskan kemiskinan di Jawa Timur, ketimbang Jakarta. Tak cuma Surabaya, Bantaeng, Sulawesi Selatan, Bandung dan daerah-daerah lain yang punya kepala daerah berkualitas, biarkan mereka menjadi contoh bagi daerah-daerah lain di Indonesia untuk membantu pemerataan pembangunan yang berkelanjutan. Indonesia bukan hanya Jakarta, jangan seret semua potensi dan sumber daya ke Jakarta.
Kepala daerah mesti jadi teladan, ketika kepala daerah terbaik melakukan urbanisasi ke Jakarta, maka penduduk pun punya justifikasi untuk melakukan hal yang sama. Hal ini semakin menyesakkan Jakarta yang over populasi. Sementara itu jumlah penduduk Jakarta saat ini mencapai 10 juta jiwa, ditambah dengan yang bermukim di Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi dan setiap hari commute ke Jakarta maka menjadi 28 juta jiwa. Kepadatan penduduk Jakarta Pusat bahkan mencapai 18.926 per km2. Ketika tanah Jakarta tak cukup lagi untuk warga yang ada, maka ini membuat Ahok semakin punya justifikasi untuk melakukan reklamasi.
Warga Jakarta janganlah terlalu egois merampas semua SDM daerah. Mari kembali mengingat substansi pembangunan berkelanjutan, prinsip pembangunan berkelanjutan adalah “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan”. Termasuk kebutuhan akan SDM, kepala daerah berkualitas di daerah sudah menjadi magnet untuk pengembangan kapasitas sumber daya manusia di daerah. Biarkan ini menjadi energi positif di daerah.
Biarkan Risma di Surabaya, ini akan menjadi teladan bagi kepala daerah lain untuk bertahan dan konsisten membangun daerah sebagai fondasi pembangunan berkelanjutan Indonesia. Cukup Jokowi menjadi pelajaran bagi Batavia yang putus asa menjelang hari merdeka.
Tulisan ini dipublish di GeoTimes , The New Urban Review dan Selasar

No comments:

Post a Comment