Friday, May 27, 2016

Menyikapi Skeptisisme Perubahan Iklim

Kekeringan di Jembrana, Bali

Beberapa waktu lalu saya membaca dua tulisan di sebuah media dengan judul “Apakah perubahan iklim benar-benar terjadi?” dan “Mitos Perubahan Iklim”. Hal ini menambah runyam skeptisisme terhadap perubahan iklim dan membuat saya terpanggil untuk menanggapi dan melengkapi diskursus tersebut.
Tulisan pertama mencoba menghadirkan sejumlah penelitian terkait perubahan iklim dan menyimpulkan bahwa perubahan iklim adalah siklus normal bagi bumi. “Tak Perlu Histeris, tidak perlu menunjukkan kekhawatiran yang berlebihan terhadap perubahan iklim. Kita tidak bisa mencegah terjadinya perubahan iklim. Yang bisa kita lakukan adalah melakukan adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan itu. Ada ribuan probabilitas mengapa Tuhan menurunkan bencana pada suatu daerah. Ke semuanya bergantung pada individu yang mendiami daerah itu”, argumen ini menutup ulasan tulisan pertama.
Sementara di tulisan kedua, membandingkan fenomena perubahan iklim dengan sejumlah fenomena sains alam lainnya dan berakhir pada kesimpulan bahwa perubahan iklim adalah sesuatu yang diluar kemampuan dan kapasitas manusia untuk menyikapinya.

Terkait apakah perubahan iklim adalah bagian dari siklus iklim bumi yang dianggap normal, hal ini memang masih diperdebatkan di kalangan ilmuwan. Tapi yang pasti, semenjak revolusi industri di abad 18, volume karbon dioksida (CO2) yang dilepaskan ke atmosfer meningkat drastis dan berpengaruh terhadap kenaikan suhu permukaan bumi. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mencatat kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi mencapai 0.85°C dari tahun 1880 hingga 2012.
Ada sedikit kontradiksi arah pernyataan pada tulisan-tulisan tersebut, dengan mencampurkan paham determinisme dengan possibilisme. Determinisme berpendapat bahwa keadaan hidup dan perilaku manusia ditentukan oleh faktor-faktor fisik geografis seperti perubahan iklim. Sedangkan possibilisme berpandangan bahwa alam tidak menentukan apa-apa terhadap kehidupan manusia, tetapi hanya memberikan kemungkinan- kemungkinan terbatas yang dapat dipilih oleh manusia. Perubahan iklim berada di tengah pertentangan dua paham tersebut. Terhadapnya, manusia harus bertindak secara terorganisir dalam struktur negara dan kerjasama internasional.
Mungkin benar kita tidak perlu khawatir berlebihan, cukup kekhawatiran yang proporsional. Hal ini telah diwujudkan oleh dunia internasional dengan membentuk IPCC, United Nations Framework of Climate Change Convention (UNFCCC) dan COP (Conference of The Parties). Bekerjasama dengan berbagai stakeholder dari ilmuwan hingga sector privat, ketiga wadah tersebut telah berkontribusi besar terhadap penyikapan perubahan iklim di dunia.
Salah satunya adalah terkait penyikapan kejadian bencana. Faktor iklim berpengaruh besar terhadap probabilitas bencana, itulah kenapa ada program integrasi adaptasi perubahan iklim (API) dan pengurangan resiko bencana (PRB). Program ini merupakan tantangan yang perlu disinergikan dalam Sistem Pembangunan Nasional setiap negara, diantaranya adalah kebijakan API dalam mempertimbangkan risiko bencana untuk meningkatkan ketangguhan masyarakat dan strategi API berdasarkan PRB untuk mengelola bahaya (pencegahan), mengurangi kerentanan (mitigasi), dan meningkatkan kapasitas adaptasi (kesiapsiagaan).
Lalu menyoal tulisan kedua, semua fenomena sains pada awalnya memang berada di luar kapasitas manusia untuk memahami. Dan kemudian perkembangan sains itu sendiri juga yang membantu manusia pada akhirnya untuk memahami. Rencana adaptasi dan mitigasi perubahan iklim adalah bentuk kesanggupan manusia menyikapi perubahan iklim. Di Indonesia ada RAN-GRK (Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Rumah Kaca) yang ditetapkan sejak tahun 2011 dan disusul oleh RAN-API (Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim) pada tahun 2013.
Kondisi terkini dari kedua aksi nasional tersebut menjadi to do list Indonesia dalam menyikapi perubahan iklim. Dibawah arahan Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) /BAPENNAS, RAN-GRK dan RAN-API memerlukan kesepahaman berbagai pihak terkait terhadap rancangan pembangunan yang rendah emisi dan adaptif. Aksi nasional ini saat ini ditengah diterjemahkan menjadi rencana aksi daerah (RAD) di sejumlah pilot kota/kabupaten dan provinsi. Secara nasional hingga level daerah, Bappenas berupaya mendesain bagaimana mencapai target nasional dalam mengurangi emisi karbon hingga 29,41 % pada 2030.
Kendala terjadi pada proses mainstreaming RAD ke dalam rencana kerja pemerintah (RKP), sebagian besar RKP tidak melibatkan tantangan perubahan iklim. Dalam UU PPLH No 32/2009 menyatakan bahwa RKP harus didasarkan pada prinsip pembangunan berkelanjutan yang terkait dengan perubahan iklim. Ini adalah bagian dari KLHS (kajian lingkungan hidup strategis) yang seharusnya terintegrasi dengan RKP. Salah satu konten dalam studi dampak RKP adalah tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi wilayah terhadap perubahan iklim. Hal ini penting untuk sinkronisasi rencana pembangunan desa dengan tingkat kabupaten/provinsi. Beberapa program yang sudah berjalan, berlangsung di lokasi yang salah, tidak di desa-desa yang rentan. Itulah sebabnya penilaian kerentanan penting untuk membantu pemerintah memilih lokasi yang tepat untuk implementasi program.
Untuk mendukung program pemerintah dan mengatasi kendala di atas, sejumlah kalangan dapat berpartisipasi melalui ragam kontribusi. Akademisi dan lembaga penelitian dibutuhkan untuk menghasilkan hasil kajian yang kuat seperti kajian kerentanan dan resiko iklim, untuk menjadi sebuah dasar dalam penentuan program prioritas pemerintah, terutama di tingkat daerah. Lalu para lembaga swadaya masyarakat, bisa membantu melalui pemberian pelatihan, sosialisasi dan pendampingan terhadap masyarakat terkait kesadaran adaptasi terhadap perubahan iklim, termasuk transisi menggunakan teknologi dengan energy terbarukan yang lebih ramah lingkungan untuk mendorong fungsi mitigasi.
Bagi sector privat dan keuangan, kontribusi terhadap pendanaan program iklim adalah sangat berarti terhadap keberlanjutan dari aksi mitigasi dan adaptasi yang tengah berlangsung. Ada sejumlah skema pendanaan yang tengah dikembangkan seperti kerjasama pemerintah-swasta dan microfinance yang bisa lebih kuat daripada CSR (Corporate Social Responsibility). Kemudian, yang juga tak kalah penting adalah partisipasi masyarakat dalam mekanisme pengawasan, pelaporan dan evaluasi dari program-program terkait. Hasil evaluasi ini akan menjadi input bagi pemerintah dalam merancang kebijakan baru yang lebih mendukung pencapaian komitmen Intended Nationally Determined Contributions (INDC) Indonesia terhadap perubahan iklim.

Tulisan ini dimuat di Selasar dan Youth Proactive

No comments:

Post a Comment