Saturday, November 9, 2013

Tu(h)an, Kau dicari!


“Selamat Tahun Baru Islam, Semoga....”

Ucapan semacam di atas bertebaran beberapa hari lalu di negeri-negeri berwarga muslim. Sebagian muslim merayakan dengan banyak macam selebrasi, kurang banyak refleksi. Untuk melengkapinya, mari sedikit kita tambah refleksi.

1 Muharram, beberapa hari yang lalu, 1435 tahun sudah Islam diturunkan melalui Muhammad SAW, Pemuda Arab yang menurut Michael H. Hart (sejarahwan dan Ilmuwan Astrofisika Amerika Serikat) dalam bukunya “The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History” disebutkan menjadi urutan pertama, orang paling berpengaruh di dunia.


Lalu hari ini, sudah sejauh manakah pengaruhnya?. Islam berjanji untuk menerangi peradaban dan menjadi rahmat bagi semesta alam. Sudahkah terpenuhi?.

Kata ‘Selamat Tahun Baru Islam’ mengandung ambiguitas. Satu sisi ini sebagai perlambang tahun baru ini dirayakan mengingat hari turunnya Islam. Lain sisi, perayaan ini seakan hanya milik umat Islam.

Jika Islam memang rahmat bagi semesta alam, maka mestinya ini juga perayaan bagi semesta ; siapapun.

Banyak umat di belahan bumi timur merayakan tahun baru Islam sebagai kebanggaan mereka atas keislamannya. Bangga mestinya berupa sebentuk syukur, yang kemudian  dijabarkan dalam bahasa berbagi nikmat kepada umat yang lain.

Di belahan bumi yang lain, ada sebagian umat cukup terbuka dalam berbagi nikmat. Adalah suku asli di Amerika Utara, sebagian mereka masih menjaga dengan baik kebudayaan mereka, termasuk ritual spiritual.

Sweat lodge, adalah ritual sembayang mereka dari ribuan tahun yang lalu, dimana mereka berterima kasih dan berdoa kepada sang pencipta untuk kebaikan mereka dan para pendahulu mereka. Dalam ritual ini beberapa orang masuk ke dalam sebuah pondok yang di dalamnya terdapat bara api pemanas suhu pondok tersebut. Suhu panasnya berkisar antara 80-110o C. Di dalam pondok tersebut, mereka berdoa bersama, semacam meditasi, mendekatkan diri dengan sang pencipta.

Ritual ini hingga hari ini masih dipertahankan dan mereka juga terbuka bagi siapapun yang ingin mencoba. Di tengah krisis spiritual di Amerika Utara, mereka seakan anomali yang punya semangat besar dalam mencari spiritualitas. Bahkan salah seorang mereka berkata kepada seorang muslim, “saya ingin melihat anda sholat”.
1435 tahun Islam hadir, namun sebagian dari suku asli di Amerika Utara masih belum mengenal baik tentang Islam. Tidak ada hambatan teknologi, mereka sudah maju, tapi ini sepertinya karena atmosfer di ‘jalan pencarian’ yang tak mulus.

Seorang muslim meneteskan air mata usai menjalani ritual sweat lodge, bukan karena perih karena panas. Namun karena ia mensyukuri betapa besarnya nikmat Islam yang ia peroleh dan menyesali sebagian waktu hidupnya yang belum mampu memaksimalkan nikmat tersebut. Islam mengajarkan jalan menuju Tuhan melalui ragam ibadahnya yang mengandung kesalehan sosial. Sementara ia melihat saudaranya harus nyaris membakar diri dalam jalannya menuju Tuhan.

Maka ini bisa menjadi cambuk bagi umat yang sudah merasa menemukan Tuhan dalam agamanya masing-masing, syukurilah hal tersebut. Jadilah pemeluk agama yang baik, yakini agamamu sebagai anugerah bagi semesta, yang mengajarkan cinta kasih dan berbagi kebaikan bagi sesama. Bukan alat untuk melebarkan jurang perbedaan, pemicu perang dan permusuhan, serta penyulut kebencian.

Lalu bagi umat yang tak meyakini eksistensi Tuhan, saya rasa anda menyerah dalam mencari dan memilih untuk kalah dalam pencarian kita.

Jika bagi anda, semua bisa dirasionalkan dan ilmiah, maka pencarian ini juga akan ilmiah dalam prosesnya. Jika semua spirit dan spiritualitas yang hadir dalam diri manusia berasal dari reaksi kimia yang terjadi pada otak manusia, dan semua bisa dijelaskan oleh sains. Dan kemudian kita akan selalu bicara tentang apapun bisa dijelaskan oleh sains, sains dibuat oleh sains, dan begitu terus bertingkat hingga ke atas, maka siapa yang berada di puncak teratas pencipta dari sains tersebut?.

Ini ibarat sebuah atom yang mengandung bagian inti dan elektron. Ada inti yang tak terjamah oleh aneka indera manusia di bagian teratas tersebut, elektronnya menyebar di setiap sela tingkatan, dekat dengan kebingungan manusia. Terkadang manusia sudah sangat dekat dengan atom tersebut, hanya saja kadang manusia sangat malas untuk menyempurnakan langkah terakhirnya yang bisa jadi membawa ia menemukan yang ia cari.

Untuk Tuan, tuan yang merasa sudah mencapai langkah terakhir atau terlahir dalam kondisi yang dekat dengan jalan pencarian tersebut, sehingga memiliki pemahaman yang baik tentang sang Tuhan. Marilah bantu menerangkan jalan saudara-saudara kita yang sedang dalam pencarian. Jangan malah menghamburkan serapah sumpah yang mematikan semangat mereka dalam mencari, atau bahkan menyerang mereka untuk melangkah mundur ; menyatakan mereka sesat, sehingga akhirnya mereka benar-benar sesat dalam perjalanan pencariannya.

Tuan, kau dicari, dibutuhkan oleh mereka untuk membantu menunjukkan mereka jalan menuju Tuhan. Bagi ilmumu, Tuhan tidak ingin kau datang padanya sendirian, Tuhan berharap kau datang bersama saudara-saudaramu, berkumpul di hari akhir, hari-hari abadi.

Tuhan, kau dicari. Suara azan panggilan shalat bagi muslim berkumandang tanpa pernah berhenti secara bergantian di seluruh penjuru dunia, begitu juga dengan nyanyian puja puji Tuhan di gereja-gereja, ketenangan dan kedamaian di pura, wihara, dan ragam jalan lainnya ditempuh hambaMu untuk memanggilMu.

Dalam kitab-kitab suci Kau menyatakan memang Kau sengaja menciptakan perbedaan untuk membuat para pencariMu untuk ‘saling mengenal’ ; mengenal satu sama lain, mengenal jalan pencarian masing-masing?. Sebagian sudah melakukan itu, sebagian mungkin menemukan, sebagian lagi hampir, sebagian mundur berbalik arah.

Dalam kitab-kitab suci, Kau menyatakan Engkau maha pengasih lagi maha penyayang, lalu bagaimana kasih sayangMu bagi mereka yang mencoba mencari namun mungkin masih belum menemukanMu?. Hari akhir?, Kau akan menemui mereka di hari tersebut?. Apa jaminan mereka akan bertemu Engkau di hari tersebut?. Tuhan, Kau masih dicari.

Tulisan ini dimuat di Portal Kemenpora, 9 November 2013

No comments:

Post a Comment