Saturday, May 25, 2013

(Belum) X Factor “Indonesia”




X Factor Indonesia pun usai dan Fatin juaranya. Program TV yang merupakan adopsi dari Amerika Serikat (AS) dan puluhan negara lain (yang mengikuti) ini sepertinya menyusul kesuksesan pendahulunya, Indonesian Idol. Rating stasiun TV penayang program ini pun (kembali) melesat berkat keberhasilan (racikan) program ini meraih perhatian jutaan pasang mata. Semua tentang penilaian yang terkait program ini, sangat dominan berujung pada kata ‘sukses’. Lalu seberapa ‘utuh’ sesungguhnya kata ‘sukses’ tersebut melekat dalam program ini ?.


Program ini bernama X Factor indonesia, kompetisi tarik suara berbasis pada keberadaan Faktor X sang peserta dan kemudian (juga) diadakan di Indonesia. X Factor Indonesia (sangat) mengadopsi X Factor pendahulunya di sejumlah negara lain.

Jika X Factor menggunakan prinsip adopsi, maka di stasiun TV yang berbeda juga ada sebuah program yang mirip dengan program TV sukses di AS. Namun ide program ini menggunakan konsep adaptasi. Program tersebut mengambil ide besar dari program sebelumnya dan kemudian disesuaikan dengan nilai ke-Indonesiaan.

Itulah mengapa kata “Indonesia” dalam judul di atas diberi tanda kutip, karena kemudian ternyata X Factor Indonesia (dirasa) sangat minim dengan nilai-nilai ke-Indonesiaan. Mulai dari judul program hingga berbagai konten acara dalam program ini sangat didominasi oleh nilai asing, salah satunya dalam hal bahasa. Bahasa sebagai salah satu unsur kebudayaan yang mendasar dan kondisinya di Indonesia yang sekarang semakin terpinggirkan, mestinya mendapat perhatian lebih.

Selanjutnya seiring dengan gelar juara yang jatuh kepada Fatin, maka ada sebuah stigma yang seolah semakin diperkuat disini. Adalah maraknya pernyataan bahwa karakter suara Fatin hanya cocok untuk lagu ‘barat’. Hal ini mencerminkan kecendrungan berpikir yang memenangkan paham westernisasi di Indonesia. Ke-Indonesiaan pun semakin terkikis.

Terhadap tesis di atas, kemudian muncul pembelaan bahwa penggunaan bahasa asing tersebut adalah atas nama sifat ‘universal’. Kemudian muncul diskursus berikutnya tentang milik siapa porsi kata ‘universal’. Kenyataannya, ‘universal’ merujuk pada peradaban yang (sekarang) tengah maju. Kemajuan peradaban tersebut membuat mereka mampu menginvasi dunia untuk mengedepankan bahasanya. Alhasil mayoritas negara di dunia pun dituntut untuk tunduk dalam invasi tersebut. Tapi di Indonesia, ketundukan tersebut sepertinya terjadi secara berlebihan, lebih dari tunduk, namun takluk.

Intelektual legendaris Indonesia, Nurcholish Madjid (Cak Nur) seringkali memberi contoh perbandingan sekularisasi di Turki dengan di Jepang dalam konteks konservasi nilai kebudayaan. Sekularisasi di Turki (tak sengaja) menggunakan konsep adopsi, sedangkan di Jepang melalui proses adaptasi, sehingganya nilai-nilai asli budaya mereka pun mampu tetap dijaga menjadi sebuah karakter. Dalam konteks X Factor, mana yang lebih banyak dinyanyikan antara lagu asing atau lagu bernilai Indonesia ?.

X Factor Indonesia pertama memang sudah sukses mencerdaskan masyarakat indonesia tentang urgensi Faktor X yang bergulat dengan karakter. Melahirkan fatin, yang selain dengan karakter suara berbeda yang mengantarkannya, Faktor X dari kepribadian (identitas)nya tak dapat dipungkiri juga mendorong kesuksesannya.

Namun tentu selalu ada evaluasi untuk perbaikan, penting untuk kembali memperdalam konsep dari X Factor Indonesia, tentang memaknai frase “X Factor” dan kata “Indonesia”. X Factor bukan saja dalam konteks kompetensi suara, tapi mestinya juga tentang karakter seorang bintang yang kemudian menjadi figur publik. Lalu juga mesti dipahami kata ‘Indonesia’ sebagai sesuatu yang ‘men-jadi’, tentang nilai dan karakter yang meng-Indonesia. Bukan sekedar program adopsi pindah negara, ini tentang penyesuaian nilai cita rasa indonesia

Terakhir, X Factor Indonesia hanyalah satu contoh dari hal serupa lain yang menggurita di negeri ini, tentang pudarnya (nilai) karakter ke-Indonesiaan kita. Jangan tunggu lenyap hingga kemudian ia hanya menjadi dongeng bagi anak cucu anda.

Lebih lanjut di Kompasiana

2 comments: